Seorang Bapak sedang mengumpulkan anggota keluarganya untuk berdiskusi tentang rencananya membeli mobil baru. Namun ternyata anggota keluarga yang lain tidak menyetujuinya.
Ibu: “Harganya kan mahal, Pak? Belum lagi biaya operasionalnya. Diperparah dengan adanya rencana pembatasan subsidi BBM.”
Sulung: “Tidak usah beli, Pak. Naik mobil itu bahaya banget. Coba lihat berita-berita, kan banyak sekali berita tentang kecelakaan.”
Tengah: “Jangan beli, Pak. Kalau rusak, selain biaya perbaikannya mahal, juga sangat membahayakan kita. Misalnya kalau rem-nya rusak. Bisa-bisa kita malah nyelonong masuk jurang. Atau kalau kita lengah bisa mencelakakan orang lain, misalnya kalau kita menabrak orang lain.”
Bungsu: “Mendingan uangnya buat beli sepeda aja, Pak. Kita bisa mborong sepeda tuh. Selain irit, juga sehat.”
Pembantu: “Aduh, Bapak ini pasti nantinya nambah kerjaanku. Pasti aku ini disuruh nyuci mobil setiap pagi.”
Tentu saja ini cuma dialog fiktif saja. Dan tentu saja Anda semua menertawakan kepolosan (atau kenaifan) para anggota keluarga di atas. Mosok beli mobil baru saja sedemikian repotnya? Bahkan terlalu banyak pikiran negatif yang tidak perlu. Dan semuanya mengalahkan manfaat yang dapat dipetik jika bisa memiliki mobil keluarga.
Tapi kalau mau jujur, ternyata Anda semua juga demikian saat meragukan, menyangsikan dan bahkan menolak pendirian PLTN di Indonesia tercinta ini. Bahkan meledaknya reaktor nuklir di Fukushima Jepang tempo hari diseret-seret menjadi bahan penolakan. Jadi… dialog fiktif di atas ternyata relevan bagi kita semua.
Jangan beli mobil, khan enak pakai taksi, disopirin, ga perlu ngerawat, ga perlu nyuci, ga perlu pusing kalo ada yang rusak (dalam konteks listrik jadi impor listrik dari malaysia wkwkwkw)
Sesederhana itu kah? Menurut Mas Dewo, isi artikel ini gimana, apa sekedar fear mongering dari kaum anti nuklir?
http://www.truth-out.org/how-peaceful-atom-became-a-serial-killer68732
Kayaknya begitu, Bro. Coba kita baca artikelnya Pak Rovicky berikut ini:
http://rovicky.wordpress.com/2011/03/17/benarkah-reaktor-fukushima-daiichi-meledak/