Entah mungkin daku terlalu sensitif atau apa, tetapi ketika ditanyai apakah daku ikhlas saat memberikan sesuatu barang atau uang, daku kok malah jadi pedih ya? Misalnya ada seseorang meminta sumbangan dan setelah daku beri, seseorang itu kemudian menanyakan kepadaku: “ikhlas kan, Mas?”
Daku kok jadi bingung mau jawab apa? Karena prinsipku, apa pun yang daku berikan berarti itu suatu bentuk keikhlasan. Titik. Kalau tidak ikhlas tentu tidak akan daku berikan. Betulkan? Lha kalau sudah diberikan ternyata ditanyain begitu, lalu daku harus jawab apa? Belakangan pertanyaan seperti itu malah membuat pedih di hati.
Ketika daku balik tanya: “apa maksudnya tanya begitu?”, seseorang tsb malah tidak bisa menjawabnya dengan tepat. Lalu apa manfaatnya melontarkan pertanyaan tersebut? Bagiku itu adalah sesuatu yang tidak perlu sebenarnya.
Belakangan daku malah tertarik menyelidiki orang yang bertanya seperti itu, apakah dia terkondisi dengan masalah ketidak-ikhlasan atau hal-hal yang manipulatif (dari segi keuangan) atau hal-hal lain? Ehm… bisa jadi studi kasus yang menarik.
Anda punya pendapat lain?
hmm mungkin dia sering bertemu/menerima dari orang-orang yang tidak ikhlas… tidak pede jadinya. Cuma sebaiknya pilih orang dong kalau tanya begitu. Apalagi kalau sudah tahu kepribadian kita/sudah akrab 🙂
Kayaknya begitu. Atau mungkin ada sesuatu yg dia sembunyikan dari saya berkenaan dgn sumbangan tersebut.
mungkin krn tidak yakin, krn belum kenal. yg penting kitanya ikhlas sudah cukup
Sudah kenal baik kok, Mbak Lidya. Sdh berkali-kali nyumbang juga. Setiap kali nyumbang kok ditanyain begitu. Kan jadi nyesek juga selalu ditanyain begitu.
Ikhlas adalah pelajaran yang paling sulit untuk dipraktekkan.
Ayo kita sama2 belajar ikhlas.
woooww…mas dewo nyumbangnya ‘banyak’ kali mas….
laen dr yg laen, jd orangnya heran…..
makasih ya latam-nya…*ikhlas kan?* ngabuuurrrr……
Ndak banyak kok sebenarnya. Mungkin krn sedikit itulah makanya ditanyain ikhlas apa engga ya?
Huuuu malah ditanyain ikhlas apa engga lagi…
~dewodroid
Mungkin Mas Dewo saat memberi memajang wajah cemberut.
Sekarang kita bukannya ingin menentang suatu agama atau kepercayaan, karena semuanya itu akan mengantarkan kalian menuju tujuan masing-masing, tetapi mengertilah apa yang kami tanyakan, siapa guru dari guru kalian tadi? Orang itu tidak akan tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Seseorang mungkin akan menjawab, “Kepercayaannya berasal dari ajaran mistik dari leluhur mereka yang telah berusia 2.000, 3.000, atau 6.000 tahun.” Lalu bagaimana kondisi “pipanya” dalam kurun waktu ribuan tahun itu? Siapa guru-guru yang membentuknya, guru-guru dan Guru Besar yang meneruskannya? Tidak ada yang mengetahuinya, mereka hanya mengenal dua, tiga atau empat guru, setelah itu tidak ada lagi.