“Kepercayaan itu MAHAL,” begitu kata Pakde. Dan daku pun berkata, “Setuju, Pakdeee.” Hanya saja kali ini daku tidak serta merta mengkaitkannya dengan arti sebuah kejujuran, karena kepercayaan jauh di atas sebuah kejujuran. Menurutku, kepercayaan bisa lebih terkait kepada integritas dan tanggung jawab. Seperti sebuah kisah lucu (baca: ironi) yang daku alami tahun lalu.
Ceritanya tahun lalu daku punya seorang asmen dan daku mempercayainya untuk mengurus beberapa hal dalam pekerjaan tanpa perlu approval-ku. Sebut saja nama asmenku ini “8”. Salah satu hal yang kupercayakan kepadanya tanpa persetujuanku adalah dalam hal mengelola kasbon untuk perjalan dinas. Seperti lazimnya orang kasbon, setelah tugas selesai dipergunakan harus dipertanggungjawabkan ke keuangan. Karena daku percaya, daku pun meminta dia langsung mengurus pertanggung jawabannya ke keuangan. Apa yang terjadi?
Suatu hari manajer keuangan protes kepadaku tentang pertanggungjawaban kasbon “8” sambil menyodorkan bukti bon pembelian. Daku pun memeriksanya. Coba tebak apa isinya? Tentu belum pada tahu isinya kan? Ya iyalah, daku kan belum cerita tho? Hehehe… (*bletaaaak*)
Isinya ternyata daftar pembelian barang-barang yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Sebut saja: sampo, sikat gigi, sabun, sabun wajah, sisir, deodoran, makanan kecil, dan beberapa yang lain yang daku tidak ingat lagi. Totalnya beberapa ratus ribu rupiah. Hampir saja daku tergelak-gelak kalau saja di depanku bukan manajer keuangan.
Hanya saja daku kok heran banget dengan bentuk pertanggungjawaban kasbon ini. Baiklah, mungkin dia jujur dengan nota pembelian barang-barang ini, atau sebenarnya dia tidak jujur karena membuatnya sendiri? Asli, itu sudah tidak penting lagi kurasa.
Sejak saat itu daku tidak lagi memberikan kepercayaan kepadanya, terlepas dari pertanggungjawabannya jujur atau tidak, tetapi dia kehilangan kepercayaanku karena “keanehannya” itu. Dan karena beberapa keanehan lain yang dia lakukan dan semakin menjadi-jadi, daku pun memutuskan hubungan kerja dengan “8”. Maafkan daku jika daku “menutup rejeki orang lain.” Tetapi dia tidak layak mendapat kepercayaan bekerja di sini.
~~~
Artikel ini untuk menanggapi artikel BlogCamp berjudul “Kepercayaan itu Mahal” tanggal 21 Juni 2012.
Sahabat tercinta,
Saya telah membaca artikel anda dengan cermat.
Artikel anda segera didaftar.
Terima kasih atas partisipasi sahabat.
Salam hangat dari Surabaya.
Terima kasih, Pakde.
Salam
Saya masih pakai rumus kebersamaan + kepercayaan = pendapatan
Ini bukan menutup rejeki orang lain mas dewo …
Ini justru malah ingin meluruskan rejeki orang lain …
semoga 8 bisa mengambil pelajaran …
Salam saya
Wah betul juga, Ompakmas: “meluruskan”
Amin…
Salam
menggunakan kessempatan dalam kesempitan ya, dari nilai yangtidak seberapa jadinya tidak diberikan kepercayaan lagi dan DOSA 🙂
Betul banget, Mbak Lidya. Setelah saya tegur, orangnya semakin hari semakin aneh2.
Salam
Aduh, malu-maluin banget. Mosok duit kantor dipakai buat beli sabun dan sampo sih? Mbok dipake buat beli apa gitu, mobil kek, cicilan rumah kek.. 😀
Wakakaka… tambah parah tuh.
Salam
hahaha…..mas, aku yg tergelak nih…untung juga g di depan manager keuangan mas itu…qiqiqi
bukan krn salah kasih kuitansikah?
Sungguh ya Rabb, dari hati yang paling dalam sebenernya daku ikhlas saja dan rela bila dilangkahi. Daku jadi inget waktu pertama kali dia mengutarakan keinginannya jika saja dia menikah duluan. dengan spontan aku bilang, ” ya, gapapa.” enteng banget jawabnya. dan jawaban tersebut keluar tanpa pikir panjang. tanpa memikirkan perasaan sendiri. Entah, apa karena daku begitu naifnya, atau begitu besar dan lapangnya hati, entahlah…… serasa ga masalah. Bahkan saat itu keluargaku yang bersikeras melarang, bahwasanya harus kakak pertama yang duluan menikah. tidak boleh dilangkahi. klo dilangkahi nanti si kakak akan begini akan begitu…. yang membuat aku ga tahan dengernya. karena begitu takhayul….tapi cukup menakutkan juga. lalu, apa yg terjadi kemudian?? daku nangis. daku nangis karena mereka malah melarang seorang yang hendak menikah. padahal nikah itu ibadah. ditambah malam itu, sebenernya daku sama sekali ga bermaksud bicara menggurui mereka, tapi sekedar basa-basi tentang keinginan adik tersebut. tapi dari keluargaku rupanya tidak mendukung. Hatiku sedih saat itu. langsung saja masuk kamar. sambil menangis sejadi-jadinya. menangisi adik yang terhalang keinginannya utk menikah. hanya karena daku. saat itu aku membayangkan betapa sedihnya jika saja aku yang dihalang2i utk menikah. jadi, daku pun tak mau menghalanginya. Beberapa saat kemudian mereka sepertinya tau klo aku sedih. mereka langsung ke kamarku, dan bilang jangan terlalu dipikirin keinginan dia tersebut. nikah ga semudah yg dia bayangkan. begitu beliau berkata. dari sini sepertinya sudah terjadi missunderstanding. salah paham. sepertinya mere mengira klo aku sedih karena adik yg berkeinginan melangkahi, padahal saat itu tidak sama sekali. dan sepertinya mereka tidak mau aku dilangkahi karena khawatir dengan perasaan ku nantinya. padahal………perasaanku tidak seperti yg mereka pikir saat itu.