Sebelum prosesi pemakaman Papah di Sagan Yogyakarta, Mbak Choco bertemu dengan Pak Helan Supardi, teman semasa mudanya Papah. Beliau bercerita tentang masa muda mereka. Waktu muda, Papah dikenal sebagai pria yang lurus dan tidak mau ikut menggoda wanita. Saat teman-teman menggoda wanita, Papah selalu memisahkan diri sehingga sering diledek sebagai Bung Kecer yang artinya mas yang tercecer.
Mungkin karena Papah lebih banyak dibesarkan oleh Ibundanya setelah kehilangan sosok Ayah ketika Papah masih SD. Peran Sang Ibunda sangat besar dalam membesarkan dan membimbing Papah. Tidak lupa peran dari Kakak-kakak perempuan Papah. Dulu Papah sangat dekat dengan Mbakyu Ning, sang Kakak yang penuh kasih membesarkan dan banyak membantu Papah dari segi keuangan.
Papah banyak dikelilingi sosok wanita yang mengasihinya sehingga Papah tidak ingin menyakiti hati wanita.
Hingga akhirnya Papah bertemu dengan Ibu. Pertemuan terjadi saat Papah melihat Ibu di asrama RS Panti Rapih, Yogyakarta. Rumah Papah di Sagan tepat di belakang asrama perawat dimana Ibu dulu belajar. Setiap kali selesai makan siang, para perawat akan pergi ke bagian belakang asrama untuk mencuci piring. Di situlah Papah melihat ibu.
Papah bersama teman-temannya naik pohon dan Papah pun berteriak ke Ibu: “Bud, rene tak kenalke karo dokterandes.” (“Bud, sini saya kenalkan sama dokterandus”).
“Bud” adalah panggilan Ibu semasa muda. Sedangkan “dokterandes” (sebuah gelar Drs.) yang dimaksud Papah adalah teman Papah bernama Priyadi yang telah lulus terlebih dahulu. Akhirnya mereka pun berkenalan.
Pada perkembangannya, Ibu lebih memilih Papah dari pada Si Dokterandes. Sedangkan Si Dokterandes dijodohkan ke A temannya Ibu. Ternyata Si Dokterandes tidak suka A. Kemudian Si Dokterandes dikenalkan ke B, teman Ibu yang lain. Si Dokterandes mau, tetapi si B tidak mau. Hayah…
Ibu menerima Papah karena di masa mudanya Papah cakep dan modis. Saat muda Ibu mengidolakan Rock Hudson, tetapi kemudian menerima Papah yang jauh beda sosoknya dengan Rock Hudson. Ibu kerap diledek temannya, “Kok dapatnya Paul Anka?” Dahulu Papah memang kurus. Kata Ibu, berat Papah cuma 49 kg.
Dimulailah masa pacaran mereka berdua. Tidak jarang Papah mengantar Ibu pulang ke rumah di Ganjuran naik sepeda. Bayangkan Papah memboncengkan Ibu dari RS Panti Rapih ke Ganjuran! Jangan bayangkan jalannya seperti saat ini yang sudah diaspal loh! Jalan masih tanah yang dikeraskan. Ehm, kalau aku sih pasti sudah gempor.
Kata Ibu, jaman dulu memang begitu, capek tidak dirasakan tetapi dijalani saja dengan riang gembira. Hehehe, tentulah… kan sama kekasih tercinta.
Suatu saat ada gundukan tanah agak tinggi. Ternyata Papah sudah tidak kuat mengayuh sepeda sehingga sepeda pun berhenti di gundukan. Papah tidak berdaya di atas sepeda di puncak gundukan tanah. Ibu pun tertawa ngakak di boncengan.
Sejak pacaran itu pulalah Papah mulai belajar agama Katolik. Papah ikut kursus agama Katolik dan kemudian dibaptis. Papah menjadi yang pertama di keluarga Papah yang beragama Katolik. Padahal Ibu sama sekali tidak memaksa. Mungkin saking cintanya Papah kepada Ibu.
Kelak di saat berumah tangga dan berkarir, Papah akan banyak mengalami ganjalan karena agamanya. Namun Papah tetap konsisten walau pun banyak badai menerpa. Sampai akhir hayatnya Papah tetap konsisten.
Masa pacaran 3 tahun mereka lalui dengan indah. Banyak kenangan indah bersama. Tidak jarang menjadi lucu di masa kini. Seperti saat Papah ingin mentraktir Ibu makan mie namun ternyata uang Papah kurang sehingga Ibu harus menambah uang Papah. Tidak jarang mereka urunan untuk membeli makan.
Hingga akhirnya mereka menikah kemudian. Pernikahan diberkati oleh Romo Sewaka yang adiknya Ibunya Ibu (Om-nya Ibu).
Dalam berkeluarga, Papah dan Ibu membina hubungan dengan saling mengasihi dan mempercayai dan saling setia. Pernah suatu saat Papah harus mendahului pindah ke Semarang sementara Ibu dan anak-anak masih di Pemalang. Namun rupanya Papah tidak betah hidup sendiri di Semarang sehingga Ibu diminta segera menyusul Papah. Setelah mendapatkan tempat yang baik, kemudian anak-anak diboyong semua ke Semarang.
Di sisi lain, Papah orangnya sangat protektif. Papah sangat khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi pada Ibu dan anak-anak sehingga semuanya terlalu dijaga. Kami putera-puterinya yang masih bertumbuh dan berkembang memang seringkali protes terhadap sikap Papah yang sangat protektif. Bahkan Papah selalu mengupayakan segala sesuatunya beres tanpa perlu anak-anak bersusah payah.
Namun aku melihatnya sebagai kasih Papah kepada kami. Kami memang berlimpah kasih sayang.
Beberapa saat sebelum tiada, Papah pernah memberikan nasehat kepada Mbak Choco, “Kamu kalau sama pasangan itu harus sayang. Yang dikenang yang baik-baik dan indahnya saja.”
Ohhh… betapa tulusnya Papah dalam memelihara cinta di hatinya. Papah menyimpan kenangan indah dan manis sebagai penyemangat cintanya. Sedangkan yang buruk-buruk lebih baik dimaafkan dan dibuang saja. Nasehat yang sederhana namun sangat dalam maknanya dan tentu saja sangat sulit dilakukan di masa modern ini. Tapi ternyata efektif bagi Papah.
Dan kini Papah telah tiada. Kini aku pun telah berkeluarga dan memiliki 2 putera-puteri. Demikian juga dengan semua puteri-puteri Papah, semuanya sudah berkeluarga dan beranak. Seperti Papah mengasihi kami putera-puterinya, aku pun mengasihi kedua putera-puteriku. Tentu saja aku memiliki cara tersendiri untuk mengasihi kedua anakku. Dan aku berharap dapat memberikan yang terbaik bagi mereka.
Terima kasih Papah atas cinta-kasihmu yang besar kepada Ibu dan kami, putera-puterimu dan cucu-cucumu. Aku berjanji akan menjaga & mengasihi Ibu, cinta sejatimu. Dan aku akan mengasihi keluargaku seperti yang telah engkau ajarkan.