Menarik menyimak sepak terjang Dahlan Iskan (DI) dalam membangun mobil listrik nasional. Masalahnya adalah pengembangannya tidak dikelola dengan profesional, baik secara manajemen mau pun teknis dan teknologi. Bahkan DI membiarkan semua proyek mobil listrik maju satu per satu. Dan kemudian malah menimbulkan banyak polemik.
Menurut hemat saya, idealnya sih semua proyek bisa disatukan untuk membentuk sinergi membangun mobil listrik unggulan.
Itu idealnya. Masalahnya menyatukan semua idealisme masing-masing kepala tidaklah mudah. Terutama karena latar belakang setiap individu yang terlibat berbeda-beda didasari kepentingan dan ego mereka masing-masing. Sebenarnya di sini peran DI sebagai fasilitator dan kolaborator sangat penting. Lagi pula dengan kapasitasnya, DI berwenang memaksa semuanya bergerak bersinergi. Kalau sudah begitu, mestinya besaran pembiayaan pun bisa ditekan.
Jika mau mengembangkan sendiri, bentuk saja sebuah lembaga riset mobil listrik. Di sini setiap inovator dikumpulkan dan didanai. Masing-masing harus sharing pengetahuan dan teknologi. Kalau perlu melakukan studi ke produsen mobil listrik yang sudah mapan.
Di sisi lain, jika toh memang benar DI ingin mobil listrik nasional segera berjalan, sebenarnya ada jalan pintas, yaitu dengan melisensi mobil listrik dunia yang telah mapan dan teruji. Tidak usah muluk-muluk semewah Ferrari (lihat Tucuxi). Toh mobil nasional diharapkan harganya tidak mahal sehingga bisa terjangkau oleh kebanyakan masyarakat.
Dengan sistem lisensi produksi, mobil listrik nasional bisa langsung diproduksi dan dapat segera diambil manfaatnya oleh masyarakat luas. Kita bisa saja mencontoh strategi Malaysia yang sukses mobil nasionalnya lewat strategi kerja sama Proton dengan Mitsubishi. Atau India dan Thailand yang menggandeng produsen Jepang. Hanya saja, kali ini kita meloncat dengan pilihan teknologi mobil listrik. Ini akan menjadikan kita berbeda dengan kebijakan negara lain.
Karena merunut sepak terjang DI selama ini dalam membangun mobil listrik, rasanya bakal panjang sekali langkahnya ke depan. Sebagai catatan, mobil Tucuxi, Ahmadi, PLN, dll, itu semua baru prototype. Prototype ini masih harus melalui beberapa tahapan untuk bisa diproduksi masal, misalnya uji tipe dan kelaikan. Untuk produksinya pun perlu pabrik yang canggih. Mengandalkan bengkel Kupu-kupu Malam di Yogyakarta untuk produksi boleh dikatakan tidak ideal. Mau berapa banyak produksinya?
Jika sebulan hanya sanggup (katakanlah) memproduksi 1-2 mobil, lalu apa manfaatnya bagi masyarakat luas. Dengan skala produksi 10 mobil per bulan pun hampir tidak dirasakan kehadirannya di masyarakat Indonesia yang ratusan juta dan tersebar di banyak pulau.
Dengan strategi kerja sama dengan produsen luar, bisa jadi produsen luar malah akan investasi pabrik di Indonesia. Ini artinya membuka lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia. Bentuk kerja sama tentu bisa dipikirkan oleh para birokrat, asal sejalan dengan misi membangun mobil listrik nasional. Kalau perlu diberikan insentif bagi investor atau kebijakan menarik lain.
Sebagai pengingat, sebelumnya saya pernah mengusulkan Renault Twizy yang sederhana tapi mengusung banyak manfaat, terutama sejalan dengan visi langit biru. Tulisan tersebut adalah: Urun Rembug Mobil Listrik Dahlan Iskan dan Stasiun Pengisian Listrik (+Renault Twizy).
(Gambar diambil dari Wikipedia)
Kita perlu berbesar hati, tidak perlu gengsi atau ngotot memproduksi sendiri, karena masyarakat sangat membutuhkan mobil listrik dengan segera. Ups, tidak hanya masyarakat, pemerintah juga perlu mendorong proyek mobil listrik ini lebih keras lagi untuk mengurangi beban subsidi BBM. Kalau perlu mobil listrik nasional diberikan insentif besar sehingga harganya cukup Rp 50 juta per unit.
~~~
Link berita terkait: Konferensi Pers Dahlan Iskan Tentang Kecelakaan Mobil Listrik Tucuxi