Akhir pekan ini saya mendapat 3 kisah tentang sopir. Kisah pertama adalah sopir pribadi kami yang mengundurkan diri per Sabtu. Dia diterima bekerja menjadi staf administrasi di sebuah perguruan tinggi. Kisahnya bukan karena dia diterima bekerja dan mengundurkan diri, tapi karena dia termasuk yang religius. Dalam arti sangat taat sholat 5 waktu. Di satu sisi tentu bagus, namun di sisi lain tentu merepotkan kami yang kadang harus menyesuaikan diri dengan waktu sholatnya yang tidak boleh terlambat.
Cerita kedua adalah sopir penggantinya. Sebenarnya Si E (sebut saja begitu) sudah kami kenal lama dan sudah beberapa kali menjadi sopir pengganti. Dan si E ini baik sikapnya. Yang jadi masalah adalah komitmen dia terhadap waktu yang sangat buruk. Sering terlambat. Bahkan dulu pernah tidak datang sama sekali sehingga saya harus naik taxi ke bandara dengan waktu sangat mepet.
Hari ini terulang lagi. Dia terlambat 30 menit datang ke rumah padahal saya sudah panik harus segera ke bandara. Hampir saja saya pesan taxi hingga akhirnya dia datang.
Diperparah dengan macet di jalan mendekati bandara. Akhirnya saya turun dan berjalan kaki ke bandara. Dan ternyata beberapa orang juga turun dari mobil dan memilih berjalan kaki. Memang sore ini jalan ke bandara macet parah.
Cerita ketiga adalah sopir taxi konvensional BlueBird yang mengantarkan saya dari bandara ke apartemen. Sang sopir BB ini sudah 8 tahun menjadi sopir dan benar-benar menekuni pekerjaannya. Dia membuat target harian sendiri supaya bisa cukup mendapatkan komisi. Dan setelah 5 tahun di BB reguler, dia mencoba menjadi sopir bandara. Dan ternyata pilihannya benar karena order tidak pernah sepi. Dengan berjalannya usia, dia memiliki harapan untuk bisa jadi sopir SilverBird karena lebih menguntungkan.
Sepanjang perjalanan tadi banyak sekali yang dia ceritakan. Kurang lebih berikut ceritanya:
1) Target pribadi. Dia membuat target pribadi sehingga bisa cukup membawa uang untuk keluarganya.
2) Mengikuti rambu-rambu perusahaan. BB terkenal dengan aturan yang ketat bagi driver untuk menjaga mutu pelayanannya. Kalau sampai menabrak/kecelakaan atau dapat keluhan dari pelanggan, maka bisa jadi sopir akan di-skors atau bahkan diberhentikan. Jadi harus berhati-hati sekali mengikuti peraturan perusahaan.
3) Tidak menolak penumpang walau pun cuma jarak dekat. Sang Sopir cerita kalau dia pernah menolak seorang penumpang. Setelah itu seharian dia tidak dapat penumpang sama sekali. Dia menyesal dan berjanji tidak akan menolak lagi. Baginya itu seperti menolak rejeki. Seharusnya tidak boleh demikian. Walau pun cuma sedikit, bisa jadi itu cuma pancingan bagi rejekinya yang lain.
4) Belajar terus. Belajar bagi dia adalah saat pada akhirnya dia mengerti seluk beluk daerah Jabodetabek. Pada bulan-bulan awal dia bekerja, dia sering mendapat keluhan dari penumpang karena dianggap tidak tahu jalan. Bahkan pernah mau dibunuh oleh penumpang yang menganggapnya sengaja mutar-mutar jalan supaya jadi jauh.
5) Menikmati pekerjaannya. Walau pun pernah mengalami pasang surut dan juga bimbang dalam pekerjaannya sebagai sopir, namun pada akhirnya dia menetapkan hatinya untuk menjadi sopir dan terus berusaha bekerja dengan tekun. Dan terbukti dengan ketekunannya itu dia mampu mencapai target hariannya.
6) Ketika bekerja dengan baik, maka semuanya akan menjadi baik. Termasuk fasilitas perusahaan yang bisa dia nikmati dengan baik karena rapot-nya selalu baik. Kebetulan BB punya banyak fasilitas bagi sopir & keluarganya, misalnya fasilitas kredit motor/mobil, umroh, kesehatan, dll.
7) Dan tidak lupa dia selalu bersyukur.
Baiklah, kurang lebih itu cerita dari 3 sopir yang amat-sangat berbeda latar belakangnya.
[…] ← Kisah 3 Orang Sopir […]