Keyboard Bluetooth Logitech K380

Ketika 8 bulan yang lalu (Agustus 2018) saya membeli iPad 6th 2018, saya sempat berpikir memberdayakannya lebih dari sekedar tablet biasa. Seperti kita tahu, tablet biasanya digunakan untuk konsumsi media (nonton video, baca-baca eBook, dll), bermedia sosial, browsing, email, dan sedikit menulis. Khusus untuk iPad 6th, Apple memulai dukungan Pencil-nya untuk iPad yang lebih murah. Sebelumnya Pencil hanya bisa digunakan di iPad Pro yang harganya jauh lebih mahal.

Memang saya sudah membeli Pencil versi 1 yang bisa digunakan di iPad 6th. Dan saya sudah mencoba belajar menggambar lagi. Di samping tentu saja mencoba membuat lagu di GarageBand.

Tapi saya masih ingin menggunakan iPad saya lebih dari pada itu, terutama untuk menunjang pekerjaan saya. Saya ingin membuat iPad saya bisa digunakan juga untuk mengadministrasi server-server, remote desktop, bahkan untuk coding. Bisakah?

Ternyata bisa teman-teman. Ada beberapa aplikasi yang saya install yang bisa membantu saya melakukan hal-hal tersebut. Namun ada tapinya… Yaitu tidak nyamannya keyboard virtual/touchscreen di layar. Bukan tidak nyaman sih, tapi ada 2 hal yang membuat saya tidak terlalu suka menggunakan keyboard touchscreen, yaitu:

  1. Mengkorupsi layar karena separo layarnya dipakai untuk keyboard virtual. Sisanya baru digunakan untuk tampilan aplikasi. Tentu tidak nyaman ya? Apalagi saya sudah terbiasa dengan setup dual monitor yang memiliki pandangan luas ke aplikasi, kode dan data.
  2. Mengetik di layar serasa tidak natural. Tidak ada feedback, tidak ada batasan antar karakter sehingga sering nyasar, dan tidak ada tombol shortcut seperti Ctrl, Alt, Del, Back, Function Key, dll. Padahal tombol-tombol itu sangat penting untuk administrasi server dan coding.

Sehingga akhirnya saya memutuskan membeli Keyboard Bluetooth dari Logitech, yaitu seri K380. Sebenarnya ada opsi seri K480 yang lebih besar dan punya beberapa fitur tambahan. Namun setelah lihat-lihat review positif tentang K380 dibanding K480 akhirnya saya memutuskan membeli K380.

Sebelumnya saya berpikir mau membeli converter Lightning-to-USB sehingga saya bisa menggunakan keyboard Logitech USB yang biasa saya pakai untuk Raspberry Pi. Namun setelah dipertimbangkan, kalau pakai cara ini jadinya malah tidak praktis dan tidak mudah untuk dibawa-bawa.

Pilihan saya atas Logitech K380 rupanya pilihan yang tepat. Pagi ini saya menerima paket ini dan langsung saya coba. Pairing ke iPad 6th dan MacBook Pro dapat berlangsung dengan mudah. Cukup tekan tombol #1 selama 3 detik, maka channel 1 siap pairing dengan iPad. Saya menggunakan channel #2 untuk koneksi ke MackBook Pro. Oh iya, K380 bisa terkoneksi ke 3 piranti. Untuk mengganti ke piranti tertentu tinggal klik tombol #1, #2 atau #3. Simpel banget.

Bentuk keyboard ini cukup mungil dan simpel. Tapi key-nya punya ukuran standar. Key-nya berbentuk bulat sehingga nampak lebih artistik. Walau pun key-nya ketika ditekan lebih senyap dibanding kebanyakan keyboard (bahkan lebih silent dibanding keyboard MacBook Pro saya yang menggunakan mekanisme butterfly), namun terasa lebih keras. Mungkin per-nya masih baru sehingga lebih keras. Tapi secara keseluruhan keyboard ini sangat nyaman digunakan.

Keyboard K380 ini juga bisa digunakan untuk mayoritas sistem operasi, mulai dari Windows, MacOS, iOS dan Android. Untuk MacOS dan iOS juga sudah disematkan label alternatif untuk tombol Command, Options dan Back. Ada juga tombol ke media player (play, fast forward, back dan volume), menu, pindah window, bahkan shortcut ke screen capture (fn + tab). Keren…

Satu hal yang menurut saya jadi kekurangan keyboard ini, yaitu tidak adanya tombol Home, Page Down, Page Up dan End. Mengakalinya harus menggunakan kombinasi antara Command + panah. Di beberapa aplikasi bisa menggunakan kombinasi Ctrl + panah. Ya memang sedikit repot kalau coding yang memerlukan navigasi ke kode dengan cepat. Tapi sepertinya tidak masalah jika sudah terbiasa menggunakan MacOS yang memang tidak menyediakan tombol Home, Page Down, Page Up dan End.

Sebagai kesimpulan, saya senang sekali menggunakan keyboard ini karena membuat iPad saya bisa digunakan sebagai piranti darurat untuk administrasi server dan coding ringan (web programming). Ini sangat berguna karena saya sering ke luar kota dan tentu saja tidak praktis jika harus membawa MacBook Pro atau Asus.

Sebagai catatan, posting ini saya tulis dengan K380 di iPad. Ternyata nyaman juga. Keyboard yang dipairing dengan iPad juga nyaris tanpa lag, apa yang diketikkan langsung tampil nyaris tanpa jeda. Jadi kepikiran mau beli mouse bluetooth sehingga iPad bisa benar-benar kayak PC. Atau upgrade ke iPad Pro yang lebih powerful ya? Hahaha…

Iklan

Membeli iPad 2018 Apakah Worth It?

Saya sudah memimpikan memiliki tablet Apple sejak lama. Apalagi sejak keluar seri iPad Pro dan kemudian melihat bagaimana para seniman memamerkan keterampilan menggambarnya di YouTube. Benar-benar membuat ngiler.

Sayangnya saya tidak bisa membelinya karena terlalu mahal. Sebenarnya alasan sesungguhnya adalah tidak tega membelinya karena terlalu mahal. Karena keperluan rumah-tangga tidak boleh diabaikan. Maklum sudah bapak-bapak, harus lebih bertanggung jawab dalam membelanjakan uangnya, hahaha…

Tapi kemudian saya memutuskan untuk memiliki iPad (bukan yang Pro), apalagi iPad 2018 ini termasuk “murah” untuk ukuran produk dari apel krowak itu. Karena Apple mengeluarkan iPad versi 2018 ini untuk berkompetisi langsung dengan ChromeBook yang nampaknya mulai menggerogoti dominasi iPad. iPad 2018 secara resmi dibandrol mulai $329 (versi 32GB WiFi Only). Sedangkan untuk pelajar bisa memilikinya dengan harga $299. Kalau Anda guru bisa membelinya dengan harga $309. Tapi ini harga di sono ya? Kalau di sini yang tidak bisa dapat harga diskon ini karena Apple belum membuka toko resminya di Indonesia.

Dari harganya nampak bahwa Apple memang menyasar segmen ChromeBook yang memang harganya sekitar itu. Belakangan laptop dengan platform ChromeBook memang semakin diterima oleh masyarakat terutama karena harganya lebih murah dibanding laptop/PC namun memiliki fungsionalitas dan kinerja tidak kalah.

Kembali ke iPad, akhirnya kemarin saya membeli versi 128GB WiFi Only warna Gold. Warna Gold ini baru dikeluarkan di jajaran iPad mulai tahun 2018 ini. Gold-nya lebih gelap dan jadi lebih menarik dibandingkan iPhone. Sebenarnya kalau ada versi RED pasti saya akan memilih RED, hahaha…

Saya memilih versi 128GB karena versi 32GB itu nanggung. Pasti cepat habis terisi. Dan saya tidak memerlukan versi selular karena bagi saya memasang nomer khusus di iPad itu sia-sia. Karena toh tidak bisa digunakan untuk nelfon atau WhatsApp.

Apakah membeli iPad itu Worth It?

Ini pertanyaan yang sangat subyektif sebenarnya. Karena pasaran tablet itu agak rancu, karena ada 3+ platform yang available di pasaran tablet tapi kesemuanya tidak sejajar. Tidak sejajar ini dilihat dari fungsionalitas, target market dan harganya.

Jadi rada sulit menilai apakah membeli iPad 2018 ini worth it jika dibandingkan dengan produk kompetitor. Sedangkan bila dianggap tidak ada pesaing karena tidak ada kesejajaran yang tepat, ya pastinya jadi worth it, hehehe…

Disclaimer: Ini pendapat pribadi saya loh. Mungkin berbeda dengan pemikiran Anda. Silakan isi komentar untuk berdiskusi. Oh iya, pembahasan platform di bawah bukan diurutkan berdasarkan awal kemunculan produk. Saya mengurutkannya berdasarkan alur penulisan yang ingin saya sampaikan.

Berikut ini pendapat saya tentang beberapa platform tablet tersebut.

Platform yang mau saya bahas pertama adalah platform Android. Di sini pemain besarnya ada Samsung, Asus, dan berbagai merek dari China. Merek besar lain mulai meninggalkan pasar tablet platform Android dan fokus di PC/laptop/hybrid, seperti misalnya Acer, HP, Sony, Lenovo, Benq, dll.

Tablet dengan platform Android ini agak nanggung. Kesannya hanya berguna untuk konsumsi media (media consumption) atau cuma untuk main game. Target segmen jadi mengerucut ke anak-anak sampai remaja. Mau diajak kerja lebih produktif oleh orang dewasa tapi dirasa kurang tenaga. Dulu pemain tablet Android ini banyak sekali. Tapi lama-lama rontok satu per satu.

Saya rada trauma dengan tablet platform Android ini. Karena tahun 2011 dulu pernah membeli Samsung Galaxy Tab 10.1″ (Baca: “Samsung Galaxy Tab“, “Keyboard Dock Samsung Galaxy Tab 10“, “Keyboard Dock untuk Samsung Galaxy Tab 10“) namun tidak sesuai ekspektasi. Sangat terbatas kemampuannya dan rada lambat. Yang membuat trauma adalah karena Samsung tidak mengeluarkan update OS Android untuk tablet ini setelah 1-2 tahun produk ini dirilis. Menyebalkan! Tidak bertanggung jawab! Padahal harganya muahaaaal! (Hahaha… ngomel2 jadinya).

Platform yang ke-2 adalah dari Microsoft. Dulu Microsoft mengeluarkan tablet versi Windows RT (Baca: “Windows RT” di Wikipedia). Ini adalah porting OS Windows ke arsitektur ARM. Sayangnya platform ini tidak berhasil. Serba nanggung. Walau pun aplikasi-aplikasi penting berhasil diboyong ke platform ini, namun kinerjanya tetap kurang dibandingkan versi desktop-nya. Tentu saja tidak banyak developer aplikasi yang mau bertaruh di platform yang tidak matang ini.

Platform Windows RT ini memang nyaris gagal sehingga akhirnya Microsoft mengeluarkan tablet full fledged, yaitu tablet dengan sistem operasi Windows yang asli versi desktop. Sayangnya para pabrikan PC tetap tidak mau mengeluarkan tablet dengan sistem operasi Windows sehingga Microsoft mulai memproduksi sendiri tablet Surface (dan Surface Pro). Demi memangkas harga, Microsoft mengeluarkan juga Surface RT dengan aristektur ARM.

Kekurangan dari platform Windows ini adalah karena memboyong arsitektur x86 dari Intel yang dikenal boros daya (dibandingkan dengan aristektur ARM yang dari dulu dikenal hemat daya). Sudah gitu form factor susah diajak langsing menandingi ARM yang bisa lebih hemat ukurannya.

Ini yang membuat para produsen males membuat tablet versi Windows. Kan tidak lucu juga kalau bikin tablet tapi bentuknya besar, tebal dan cuma bisa dipakai 3-4 jam karena boros baterai. Ya memang akhirnya Microsoft harus membuat contoh dengan tablet Surface-nya.

Akhirnya bermunculanlah produk-produk hybrid, yang bisa menjadi tablet dan bisa juga menjadi laptop. Seperti berdiri dengan 2 kaki berpijak di dua dunia. Serba nanggung jadinya ya?

Platform ke-3 adalah tablet dengan sistem operasi iOS dari Apple. Menurut saya, ini adalah platform yang ideal untuk tablet saat ini. Apple memang dikenal sebagai produsen dengan produk yang nyaman digunakan, gegas dan cocok untuk para seniman. Tablet dari Apple sangat digemari para musisi karena iPad bisa mensimulasikan efek-efek suara dengan latency paling rendah, terdengar nyaris realtime. Misal: ketika kita memukul drum di iPad, maka suara langsung terdengar ketika jari menyentuh display. Kekerasan dan aksennya tergantung dari tekanan dan kecepatan ketukan jari ke display. Ini sangat mengesankan!

Jangan lupakan fenomena efek gitar dengan latency rendah di iPad dan iPhone yang nyaris realtime. Dulu ramai sekali orang menggunakan iPad dan iPhone untuk simulasi efek gitarnya (Baca: iRig HD). Dulu latency serendah itu sulit sekali dikejar oleh platform lain!

Dan jangan lupakan artis seni rupa (gambar/lukisan dan foto). Mereka sangat menikmati iPad untuk berkreasi. Karena menggambar di iPad (terutama di iPad Pro) sangat menyenangkan dan nyaris memiliki sensasi seperti menggambar di kertas atau kanvas yang sebenarnya. iPad Pro memang memiliki display yang luar biasa dengan teknologi laminasi dan refresh rate lebih tinggi dari pada tablet saingannya sehingga menggambar di iPad Pro jauh lebih menyenangkan. Sampai sekarang kenyamanan menggambar di iPad Pro masih sulit ditandingi para kompetitor (CMIIW).

Dan sekarang iPad memiliki kemampuan editing video sampai 4K. Ini berarti para vlogger/youtuber yang banyak berkeliaran (mobilitas tinggi) itu tidak perlu membawa laptop dan bisa segera mengedit dan meng-upload videonya dari mana saja. Tinggalkan saja laptop yang berat itu di rumah!

Ini yang membuat iPad mendominasi pangsa pasar tablet. Hingga akhirnya banyak orang menyebutkan “iPad” sebagai nama generik piranti yang hanya punya layar itu dibanding menyebutnya sebagai tablet.

Namun sepertinya Apple sudah mulai khawatir dengan kehadiran platform ke-4, yaitu platform ChromeBook yang menggunakan sistem operasi Chrome OS. Ya awal mulanya ChromeBook itu ditargetkan untuk laptop murah. ChromeBook bisa murah karena sebenarnya laptop menggunakan kernel turunan Linux yang ringan/ringkas dan browser Chrome. Sedangkan aplikasi-aplikasi berjalan di atas browser Chrome. Jadi tidak perlu spesifikasi hardware yang tinggi. Untuk kapasitas penyimpanan juga cuma seadanya, secukupnya saja. Karena sebagian besar dokumen akan disimpan di Cloud.

Nah, belakangan Chrome OS ini dipakai juga untuk tablet. Ini yang membuat Apple khawatir. Karena jika tablet Chrome berhasil, maka secara kombinasi antara ChromeBook dengan Chrome Tablet bisa saja mengejar dominasi iPad. Karena bagaimana pun juga ChromeBook yang murah itu sudah cukup kinerjanya bagi para pelajar. Dan pelajar ada gerbang pertama untuk suatu dominasi produk di masa depan. Dan Apple tidak mau kehilangan pelanggan masa depannya!

Apple harus merebut kembali pasar masa depannya dengan menggelar harga pelajar. Untuk para pelajar dan pengguna awal, Apple menawarkan New iPad yang sejatinya sudah cukup mumpuni untuk tugas-tugas yang tidak berat/kompleks. Dan versi 2018 bentuknya sudah tipis, manis dan modern. Di harga segitu sulit sekali menemukan produk dari pesaing yang fitur, mutu dan kemampuannya setara.

Untuk segmen lain, Apple juga mengeluarkan versi-versi murah dari iPad-nya. Kalau versi mahal iPad Pro adalah ukuran 12.9″, maka kemudian dikeluarkanlah versi murah dengan ukuran 10.5″. Masih kurang murah? Keluar jugalah versi 9.7″. Semuanya nyaman digunakan untuk menggambar (dan melukis).

Sedangkan produk nanggung iPad Air dan iPad Mini sepertinya bakal dihentikan karena membuat bingung konsumen karena sudah ada New iPad yang sudah bisa setipis iPad Air. Sedangkan iPad Mini tidak diteruskan karena iPhone sudah mulai punya versi besar (iPhone 8 Plus). Sebagai informasi, sejatinya iPad Mini dibuat untuk menjembatani iPhone yang punya layar kecil dengan iPad. Apple memberikan opsi di antara itu untuk mengisi gap bagi pengguna yang merasa layar iPhone kekecilan tapi menganggap iPad kebesaran. Nampaknya sekarang jadi kurang relevan karena iPhone sudah punya versi besar dan iPad sudah bisa setipis dan seringan iPad Air. Tapi ya tentu saja terserah Apple ya? Kita tunggu September nanti saat Apple merilis produk-produknya.

Kompetisi

Menurut saya (ini menurut saya ya?) pesaing yang benar-benar memiliki fitur dan fungsionalitas mirip dengan iPad Pro adalah Microsoft Surface. Tapi Surface (dan Surface Pro) menggunakan Windows Desktop yang multi fungsi. Cenderung tidak mudah digunakan. Orang harus belajar menggunakannya supaya bisa produktif. Bahasa kerennya: learning curve-nya lama. Bandingkan dengan iPad yang nyaris bisa segera digunakan.

Dari segi bentuk jelas lebih langsing dan manis iPad. Sedangkan harganya? Surface Pro malah mahalnya 2-3x harga iPad Pro (tergantung tipenya).

Bagaimana dengan tablet-tablet Android? Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, sekarang tablet Android itu malah seperti mainan saja. Penggunanya cuma menggunakannya untuk ber-sosial media, main game, cek email dan tugas-tugas ringan lainnya. Mau diajak melukis selayaknya iPad Pro? Dibanding iPad regular yang murah itu saja belum tentu bisa menyaingi. Mau diajak bikin lagu atau ngedit film? Kebanyakan tablet Android akan kedodoran.

Ini yang membuat iPad sulit dibandingkan atau disetarakan dengan kompetitornya.

Beneran Worth It?

Kembali ke pertanyaan apakah iPad 2018 ini worth it? Jawaban subyektif saya adalah: YAAA! (dengan bonus “A”). Saya memang sudah menginginkannya sejak lama. Dan versi 2018 ini menurut saya adalah versi iPad dengan teknologi yang jauh lebih baik dengan harga yang tidak terlalu mahal. Dia sudah punya prosesor A10 Fusion yang gegas dan dukungan Apple Pencil dan split screen untuk kerja multitasking. Kalau melihat produk kompetitor, nyaris sulit membuat perbandingannya.

Tetapi jawaban obyektifnya baru bisa saya tuliskan setelah beberapa bulan menggunakannya yaaa… Soalnya 2 hari menggunakan iPad ini belum bisa memberikan penilaian yang sebenar-benarnya. Tapi 2 hari ini menggunakan iPad rasanya baik-baik saja. Serba cepat dan bisa split screen. Saya sedang memesan Apple Pencil untuk menggambar dan menulis. Nanti akan saya tulis terpisah.

Keluhan yang saya rasakan adalah keyboard virtualnya. Dari dulu Apple memang tidak pernah nyaman keyboard virtualnya. Kalau terbiasa akhirnya bisa nyaman sih. Tapi kalau kita menggunakan Apple dan Android bersamaan, ya akhirnya mau tidak mau jadi membandingkannya dengan keyboard-nya Android. Enakan keyboardnya google yang bisa swipe dan suggestion/prediction-nya akurat.

Sementara ini dulu tulisan saya. Rupanya sudah panjang lebar dan tinggi rendah. Kapan-kapan disambung lagi (kalau sempat dan niat). Jangan lupa kalau ini adalah pendapat saya pribadi. Mungkin bisa beda dengan pemikiran Anda. Silakan tuliskan di kolom komentar untuk berdiskusi lebih lanjut.

Salam.

Aplikasi Pikunci Bagi Orang Pelupa

Sudah jamak dewasa ini jika seseorang memiliki banyak akun yang harus diingat. Misalnya saja password untuk email, media sosial, online banking, akun langganan layanan online, toko online, dan banyak lagi. Saya sendiri punya beberapa email yang punya password beda-beda. Belum lagi beberapa server yang harus diingat passwordnya.

Beberapa akun memang punya password yang sama. Tapi tentu bukan langkah yang bijaksana. Menggunakan fasilitas pengingat di browser sedikit banyak dapat membantu walau pun tentu sangat beresiko karena bisa digunakan oleh orang lain yang menggunakan laptop. Dan tentu harus memasukkan password juga ketika kita menggunakan atau meminjam laptop/PC lain.

Sebelumnya saya sangat mengandalkan Google Doc untuk menyimpan semua info login. Tapi untuk membukanya cukup repot apalagi dari handphone. Kemudian saya mencoba menggunakan Keeper, sebuah aplikasi mobile yang cukup handal. Masalahnya saya tidak merasa nyaman menggunakannya karena sering banget muncul pop up yang mengganggu. Padahal aplikasi ini cukup baik dan memiliki fitur akses dengan fingerprint yang lebih praktis. Dan perlu upgrade untuk penyimpanan di cloud.

Hingga akhirnya saya mencoba membuat sendiri aplikasi semacam password keeper ini. Karena saya baru belajar memprogram di Android Studio, maka saya membuatnya sederhana saja. Nanti kalau ada waktu akan dikembangkan fiturnya, seperti misalnya membuka akses dengan fingerprint. Untuk awal ini cukuplah fitur login dengan akun facebook. Jadi user tidak perlu susah-susah bikin akun login dan password untuk mengakses aplikasi ini.

Aplikasi yang saya buat selama kurang lebih 4 hari di luar jam kerja ini saya beri nama Pikunci, yang merupakan gabungan kata “pikun” dan “kunci”, hahaha… ngasal yak?

Ini aplikasi yang sangat sederhana, cuma untuk mengingat login dan password. Selain gratis, saya tidak membatasi berapa jumlah akun yang bisa disimpan oleh user. Semua data disimpan di cloud dengan jaminan kalau data yang disimpan tidak akan disalahgunakan (Kebijakan Privasi).

Untuk menggunakan Pikunci cukup mudah, Anda hanya perlu akun Facebook yang digunakan untuk identifikasi di Pikunci. Setelah itu Anda bisa mulai memasukkan akun-akun Anda. Sangat mudah kan? Aplikasi ini memang dibuat supaya mudah & cepat.

Kalau Anda mau, Anda dapat menginstallnya di beberapa smartphone. Kalau Anda menggunakan akun facebook yang sama, maka datanya akan sama di beberapa piranti tsb. Kalau handphone Anda yang ada Pikunci-nya hilang, Anda cukup mengganti password Facebook dari komputer, maka aplikasi Pikunci di handphone Anda tidak bisa diakses lagi.

Aplikasi Pikunci ini akan terus dikembangkan. Semoga bermanfaat ya.

Aplikasi Ditolak oleh Google Play

Jadi ceritanya kemarin saya meng-upload sebuah aplikasi di Google Play. Tapi ternyata aplikasi tersebut ditolak oleh Tim Google Play karena dianggap melanggar hak cipta. Pasalnya dalam aplikasi tersebut ada logo RS Awal Bros Batam dan saya dianggap menggunakan property dari RSAB tanpa ijin.

Tentu saja saya melakukan banding dan menjelaskan kalau saya bekerja untuk RSAB Batam. Tapi ternyata ditolak lagi. Saya harus menyertakan bukti dari RSAB Batam bahwa saya memiliki hak untuk menggunakan logo tersebut. Alternatif lain bisa dengan membuktikan kalau saya memiliki domain awalbros.com atau membalas email dari domain awalbros.com. Sebenernya saya bisa melakukan keduanya sih, tapi sepertinya saya punya alternatif lain. Yaitu mengirimkan foto kartu karyawan dan kartu nama. Paling tidak, ini yang bisa saya lakukan paling cepat di antara alternatif yang disarankan, hahaha…

Dan tidak terlalu lama balasannya cukup melegakan. Aplikasi saya dipulihkan (reinstated). Dan aplikasi bisa tampil di Google Play. Horeee…

Menurut saya, tingkat keamanan aplikasi di Google Play cukup baik. Mungkin belum benar-benar sempurna, tapi sudah cukup dapat melindungi kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan aplikasi. Saya tidak terlalu yakin apakah keamanan ini bisa sampai di level teknis atau sistem.

Berikutnya adalah kesempatan untuk banding. Kalau aplikasi ditolak karena satu-dua hal, kita bisa appeal. Beberapa kali saya berbalas email untuk menjelaskan semuanya. Dan yang menarik adalah bahwa saya menawarkan cara berbeda dengan yang disarankan tim Google Play dan ternyata diterima. Menurut saya, orang di balik tim Google Play cukup kooperatif, tidak saklek (tidak kaku sekali).

Memang sih, ini pengalaman pertama saya ditolak oleh Google Play. Sebelumnya beberapa kali upload aplikasi baik-baik saja. Jadi cukup berkesan untuk saya tuliskan di blog, karena mungkin kelak dapat menjadi pengingat dan mungkin berguna bagi pembaca.

Membaca Suhu & Temperatur dari Android

Tempo hari saya sudah membuat 2 mekanisme pembacaan suhu & kelembaban dengan Wemos D1 Mini, yaitu:

  1. Pemantau Suhu dan Kelembaban Udara dengan Wemos D1 Mini dan DHT11 yang secara periodik polling sensor dan mengirimkan data ke server.
  2. Server Monitor Suhu dan Kelembaban Ruangan dengan Wemos D1 Mini dimana saya membuat web server mungil sehingga piranti lain dapat meminta suhu & kelembaban dengan http request.

Kedua mekanisme di atas memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Namun dengan pertimbangan kepraktisan dan isolasi per area, maka saya memilih mekanisme ke-2.
Baca selebihnya »