Membuat Virtual Machine Portable

Saat coding saya biasa menggunakan MacBook Pro. Sayangnya saat upgrade ke MacOS Catalina segalanya jadi berubah. Ada beberapa masalah yang timbul. Salah satunya adalah XAMPP tidak bisa bekerja lagi. Jadi saya tidak menjalankan Apache, PHP dan MySQL di MacBook Pro. Konon karena masalah dukungan aplikasi 32 bit yang dihilangkan.

Solusinya simple sih sebenarnya, yaitu dengan menggunakan Virtual Machine dengan guest Linux Ubuntu seperti yang saya lakukan juga di laptop Asus TUF saya. Tapi itu berarti mengorbankan sebagian storage MBP untuk VM.

Maklum, ukuran VM untuk OS Ubuntu, aplikasi HIS, database HIS, NodeJS, dan segala pernak-pernik pendukungnya itu memerlukan ukuran yang besar. Saya pernah mengalokasikan VM sebesar 40 GB ternyata kurang. Dan menurut kebutuhan saya ini, kurang lebih dibutuhkan ukuran VM antara 50-60 GB.

Naaah, MBP saya yang cuma punya kapasitas storage 256 GB itu tentu saja tidak mencukupi. Kalau saya membuat VM sebesar 50 GB, maka itu berarti sisa storage cuma tinggal 5-10 GB karena saat ini MBP juga saya pakai untuk membuat banyak dokumen dan konten.

Kemudian saya pun memikirkan solusi yang lebih kreatif, yaitu dengan membuat Virtual Machine di Flash Drive. Seperti biasa, saya membuat VM dengan menggunakan VirtualBox yang sangat user friendly dan bisa bekerja di MacOS, Windows dan Ubuntu. Dengan VM di FlashDrive ini berarti saya bisa:

  1. Menghemat storage internal di laptop. Saya bisa menghemat storage di MacBook Pro yang cuma punya SSD 256 GB itu. Cukup colokkan Flash Drive di MBP dengan bantuan kabel konverter USB A ke C.
  2. VM bisa portable, karena saya bisa menyalakan VM ini di MBP mau pun di TUF. Itu artinya saya tidak perlu tergantung dengan salah satu laptop saja. Kalau di kantor bisa pakai MBP dan ketika dibutuhkan coding di apartemen bisa pakai TUF. Cukup colokkan Flash Drive ke laptop yang tersedia. Jika perlu suatu saat nanti ketika ada laptop baru bisa langsung colok dan nyalakan VM. Praktis kan?
  3. Cukup membawa Flash Drive kemana saja. Idealnya saya cukup bawa Flash Drive VM ini untuk bekerja. Cukup menghemat tenaga karena tidak perlu bawa-bawa laptop. Dan ketika VM dinyalakan, semua lingkungan kerja sudah tersaji di laptop yang saya pakai.

Jadi saya pun membeli sebuah Flash Drive untuk mewujudkan ide ini. Saya membeli Flash Drive dari Sandisk dengan tipe Ultra Fit yang punya form factor sangat kecil. Tadinya saya ingin membeli yang tipe Ultra Flair yang punya kecepatan lebih tinggi, yaitu 150 Mbps. Tapi ukurannya lebih panjang sehingga kurang praktis. Terlalu menonjol dan tidak praktis.

Ultra Fit ini sangat pendek sehingga tidak terlalu menonjol saat dicolokkan di laptop TUF. Tapi kalau dicolokkan di MBP memang masih perlu kabel konverter USB A ke C sih. Tapi ketika digunakan di TUF bisa tertempel rapi di samping dongle USB mouse wireless yang juga selalu tercolok di TUF.

Sebagai catatan, Ultra Fit yang saya beli memang kapasitasnya cuma 64 GB. Kebetulan dapat diskon sehingga harganya menjadi Rp 159.000 dari harga normalnya yang Rp 229.000. Tadinya mau beli yang 128 GB tapi sayangnya tidak diskon. Harga yg 128 GB mencapai Rp 479.000 (tidak ada diskon). Bagi saya kemahalan, mending beli SSD sekalian yang sudah pasti punya kecepatan tinggi ya? Hehehe.

Kecepatan Ultra Fit yang sudah punya versi USB 3.1 ini memang cuma 130 Mbps, yang mana lebih rendah dari pada Ultra Flair yang mencapai 150 Mbps. Sebenarnya saya punya kartu MicroSD dari Samsung dengan kapasitas 128 GB. Lebih lega tentu saja. Tapi sayangnya cuma punya kecepatan 100 Mbps utk read dan 90 Mbps untuk write. Sepertinya tidak saya rekomendasikan. Lagian jadi kurang praktis karena perlu SD Card reader USB yang lebih besar dari pada Flash Drive.

Kecepatan Flash Drive dan Micro SD ini tentu boleh dibilang sangat rendah dibandingkan dengan SSD bawaan MBP mau pun SSD hasil upgrade di TUF. Tapi saat saya coba gunakan untuk VM, ternyata performanya baik-baik saja. Memang agak lambat saat pertama menyalakan dan saat shutdown VM. Tapi ketika sudah menyala dan digunakan untuk programming sudah cukup baik.

Proses pemindahan VM dari internal ke Flash Drive juga bisa dilakukan dengan mudah. Memindahkan ke laptop lain juga mudah. Tidak ada masalah kompatibilitas, bahkan di saat menggunakan 2 laptop dengan platform yang berbeda, yaitu di MacBook Pro dengan MacOS Catalina mau pun di Asus TUF dengan Microsoft Windows. Bahkan keduanya punya prosesor yang berbeda, yaitu Intel dan AMD. Ternyata tidak ada masalah. VirtualBox memang bagus!

Lagian saya membuat konfigurasi VM di kedua laptop ini berbeda. Saat di MBP saya cuma mengalokasikan 2 core dan 2 GB RAM. Sedangkan di TUF saya mengalokasikan 3 CPU dan 4 GB RAM. Ternyata saat dipindah-pindah tidak masalah. VM bisa menyesuaikan diri di kedua alokasi tersebut.

Tidak dipungkiri, VM memang bisa lebih gegas di TUF yang punya alokasi mesin lebih baik. Namun untuk di MBP saya sedikit mengakali dengan menjalankan editor dan browser penguji di MacOS (host). Jadi VM di MBP cuma untuk dijadikan server LAMP. Sedangkan di TUF saya full menjalankan desktop Ubuntu 18.04.2 di VM dengan nyaman.

Demikian kurang lebih sharing tentang membuat Virtual Machine Portable denga VirtualBox. Jika ada kesempatan saya akan membuatkan videonya.

Di dunia teknologi informasi ini kita memang harus dituntut untuk lebih kreatif dalam mengatasi banyak tantangan dan masalah. Semoga tips ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya. Salam.

Iklan

Yuk Main Tank Force: Pertempuran Tank 3D

Saya baru mulai main game Tank Force: Pertempuran Tank 3D belakangan ini walau pun sebenarnya game ini sudah rilis sejak 2017. Ya maklumlah, baru punya laptop gaming barusan, hehehe… Tapi sebenarnya game ini tidak terlalu membutuhkan spesifikasi hardware yang berat. Jadi tidak perlu laptop khusus gaming.

Di tokonya tidak disebutkan secara spesifik spesifikasi hardware, cuma dituliskan butuh memory 1 GB dan bisa berjalan di arsitektur ARM, x86 atau x64. Tidak disebutkan diperlukan kartu grafis khusus atau CPU dengan clock tertentu. Namun di Asus TUF FX505DD dapat berjalan baik dengan setting grafis tertinggi.

Yang saya suka dari game ini karena game play-nya mudah dipelajari dan memainkannya tidak butuh waktu lama. Jadi kalau kalah di suatu pertempuran ya tidak apa-apa, tinggal ikut pertempuran selanjutnya. Kalau menang ya tentu saja senang karena mendapat poin yang besar. Kalau naik pangkat dapat reward yang lumayan lah…

Upgrade tank juga mudah. Yang sulit adalah ngumpulin perak untuk upgrade tank karena harus ikut banyak perang untuk mengumpulkan perak supaya cukup. Eh ada opsi beli perak atau emas sih, tapi saya tidak mau keluarkan uang untuk membeli emas atau silver tersebut, hehehe…

Nah di bawah ini adalah rekaman salah satu peperangan di mana saya dapat menghancurkan 9 tank musuh. Rasanya puas banget, hahaha…

Baca selebihnya »

Kembali Ke Microsoft Windows

Setelah bertahun-tahun menggunakan MacOS dan Ubuntu, akhirnya saya memutuskan menggunakan Windows 10 di Asus TUF FX505DD. Ya memang laptop ini sudah ada Windows bawaannya. Tapi sebelumnya saya meng-install Ubuntu di SSD dan selalu boot ke Ubuntu. Hanya saja, Ubuntu bermasalah di driver display-nya. Ketika menggunakan monitor external atau proyektor atau TV dengan kabel HDMI, maka Ubuntu akan gagal mengenali dan bahkan seringkali hang ketika kabel dicolokkan. Padahal sudah menurunkan desktop manager dengan menggunakan gdm.

Contohnya kemarin ketika presentasi, awalnya baik dengan proyektor bekerja dengan baik. Namun ketika harus bergantian presentasi dan kemudian balik lagi saya harus presentasi, laptop langsung hang. Tidak bisa diapa-apakan walau pun sudah tekan Ctrl+Alt+Del atau Ctrl+Alt+Backspace. Terpaksa hard reset dan boot ke Windows untuk presentasi lagi.

Jadi Ubuntu masih bermasalah dengan kartu NVidia atau malah dengan AMD Ryzen + Vega? Entahlah. Tapi cukup mengganggu bagi saya yang sering presentasi atau menggunakan monitor external.

Sedangkan jika boot ke Windows dari harddisk itu sangat menyebalkan. Amat sangat lambat.

Akhirnya saya memutuskan meng-install ulang NVMe dengan Windows 10. Eh bukan install ulang, tapi menyalin Windows di harddisk ke NVMe. Untuk menyalin image Windows dari harddisk ke NVMe ini diperlukan aplikasi bernama EaseUS Todo Backup Free. Sejatinya ada versi berbayarnya, tapi kita bisa meng-install versi free-nya. Bagusnya adalah ada fitur “System Clone” yang cukup pandai sehingga walau pun storage tujuan lebih kecil, tapi EaseUS bisa mengaturnya dengan baik. Jadi walau pun harddisk saya 1TB sedangkan SSD NVMe hanya 256GB, namun karena isi harddisk hanya beberapa puluh giga byte, maka cloning bisa dilakukan dengan aman. Bahkan NVMe bisa langsung dipergunakan sebagai boot drive.

Walau kembali ke Windows, namun saya masih memerlukan Ubuntu untuk banyak hal yang berkenaan dengan pekerjaan. Jadi saya meng-install VirtualBox dengan VM Ubuntu 19.04. Bukan solusi yang efisien sih. Tapi efektif untuk pekerjaan saya.

Masalah berikutnya muncul. Yaitu ketika menyadari bahwa font di Windows tidak sebagus MacOS atau bahkan Ubuntu. Setting font clear type tidak membantu, tetap kurang nyaman. Jadi males kerjanya, hahaha… Apalagi kan saya memang akan banyak coding yang berarti akan sering berhadapan dengan banyak code/text.

Syukurlah menemukan program MacType yang bisa membuat font di Windows jadi seindah MacOS/Ubuntu. Syukurlah gratis juga. Saya memang paling suka yang gratisan dan halal, hahaha…

Jadi terima kasih untuk program EaseUS Todo Backup Free dan MacType.

Upgrade Asus TUF FX505DD Tahap 2

Asus dengan seri TUF FX505DD berhasil membuat saya penasaran dengan kemampuan upgrade di laptop-nya. Setelah beberapa hari menunda upgrade tahap 2 dengan pertimbangan seberapa perlu saya harus meng-upgrade RAM-nya, akhirnya saya nekad juga untuk meng-upgrade-nya.

Hari ini paket RAM PC4-2666V dari V-Gen dengan kapasitas 16GB mendarat di kantor. Kebetulan saya mendapatkan RAM ini dengan chip yang sama dengan RAM 8GB bawaan laptop, yaitu SK hynix. Jadi seharusnya tidak ada masalah kompatibilitas. Beda kapasitas tidak masalah. Yang penting bisa jadi dual channel.

Dan ternyata benar, ketika dipasang langsung dikenali dengan baik oleh BIOS dan selama beberapa saat saya pakai tidak ada masalah. Tidak ada hang karena masalah incompatibility. Aman.

Dengan terpenuhinya 2 slot RAM di TUF FX505DD ini berarti prosesor AMD Ryzen 5 3550H dapat bekerja secara optimal karena dapat memanfaatkan dua channel RAM. Dan ternyata yang saya rasakan memang lebih cepat. Loading beberapa aplikasi serasa lebih cepat. Dan perpindahan antar aplikasi dapat berlangsung lebih cepat.

Sayangnya saya tidak melakukan benchmark ketika RAM cuma 8GB dengan setelah di-upgrade menjadi dual channel 24GB. Tapi percaya saja deh, terasa perbedaannya. Ya walau pun tidak ilmiah, tapi saya merasakan perbedaannya, hehehe…

Jadi walau pun laptop ini bukanlah laptop dengan prosesor tercepat, namun jadi terasa gegas dan gesit. Lebih nyaman untuk dipakai bekerja. Apalagi untuk programming yang butuh cukup banyak resources.

Sayangnya ya kemampuan upgrade laptop Asus ini cuma di storage (SSD NVMe atau pun SATA) dan RAM. Dan ini sudah saya lakukan semua. Untunglah laptop ini tidak mampu di-upgrade prosesornya. Seandainya saja bisa upgrade, tentu saya bakal sulit tidur karena memendam rasa penasaran untuk upgrade, hahaha…

Memonitor Beban Kerja Laptop

Sebenarnya tulisan ini cuma iseng. Seolah ingin membenarkan keinginan saya untuk melakukan upgrade fase 2 (lihat tulisan sebelumnya tentang upgrade fase 1). Ya memang rada gatel juga sih pengen segera bisa upgrade fase 2, yaitu untuk menambah RAM di laptop Asus TUF Gaming FX505DD saya. Hanya saja setelah melihat di toko online ternyata harga RAM SO-DIMM DDR4 PC4 — 2666MHz itu ternyata mahal. Apalagi dari merek terkenal. Padahal sudah ngiler lihat yang 16GB.

Nah belakangan ini saya mencoba menahan diri dan menyelidiki apakah benar saya membutuhkan upgrade RAM ini? Sementara jari sudah tidak tahan menekan tombol “BELI”, hahaha…

Sebenarnya saya belum 100% menggunakan laptop TUF ini untuk bekerja karena untuk pekerjaan kantor saya masih menggunakan MacBook Pro. Tapi jika kelak dibutuhkan untuk ikutan kompetisi atau tiba-tiba kumat semangat ngopreknya, TUF ini harus siap menanggung beban kerja yang berat. Mungkin berlebihan ya? Tapi mungkin juga tidak, secara saya bakal banyak menggunakan VM (Virtual Machine) atau AVD (Android Virtual Device).

Rencananya dalam beberapa hari ke depan ini saya akan memonitor beban kerja laptop ini untuk beberapa tugas normal sampai ke yang berat. Untuk memonitor ini diperlukan beberapa program sehingga saya bisa melihat seberapa utilisasi laptop, apa saja yang berjalan di laptop sampai ke suhu laptop. Berikut ini adalah beberapa aplikasi yang sudah saya install:

  1. htop. Ini adalah sebuah aplikasi ringan berbasis teks yang dijalankan di terminal. Fungsinya untuk memantau utilisasi CPU, RAM dan SWAP. Terlihat pula daftar program yang sedang berjalan beserta informasi penggunaan CPU dan RAM oleh aplikasi ini. Sebenarnya tidak hanya itu, aplikasi ini sudah dibekali fitur mumpuni semacam pencarian task, membunuh task, dll. Tidak hanya simple tapi sangat powerful. Sayangnya itu belum cukup karena aplikasi ini tidak bisa memonitor suhu, storage dan network.
  2. System Monitor. Kalau ini adalah aplikasi bawaan dari Ubuntu Desktop. Karena tampilannya grafis, maka tampak lebih menyenangkan untuk dilihat. Fitur unggulannya adalah monitor CPU, Memori & Swap, serta jumlah dan kecepatan komunikasi data. Semua ditampilkan dalam bentuk grafis yang menyenangkan untuk dilihat. Di samping fitur utama ini ada fitur tambahan seperti monitor proses apa saja yang sedang berjalan dan file system. Cukup lengkap ya? Di samping tampilannya lebih nyaman untuk dilihat.
  3. S-tui (Stress Terminal UI). Saya baru menemukan aplikasi keren ini. Aplikasi ini seperti htop yang berjalan di terminal dalam mode teks. Walau pun demikian, saya merasa aplikasi ini layak diinstall untuk mendampingi htop dan System Monitor karena aplikasi ini mempunya fitur untuk memonitor frekuensi CPU, utilisasi CPU, dan yang terpenting bisa memonitor temperatur CPU. Aplikasi ini mencoba untuk menampilkan data ini dalam bentuk grafis tapi dalam mode teks. Jadi bisa berjalan tanpa terlalu membebani laptop secara berlebihan. Sayangnya saya agak curiga dengan “Top Freq” di mana di sini tertulis 2100 MHz padahal “Cur Freq” (current frequency) bisa saja melebihi Top Freq. Ya memang base clock Ryzen 5 3550H ini di 2100 MHz. Tapi maksimal frekuensi seharusnya bisa sampai 3700 MHz yang mana kalau saya lihat belum pernah mencapai frekuensi ini (baca: AMD Ryzen 5 3550H).

Saat ini baru 3 aplikasi ini yang saya install. Sepertinya sih sudah cukup untuk memonitor beban kerja laptop TUF ini. Saat monitoring ini saya menggunakan mode Performance di manajemen daya SlimBook. Pada mode Performance ini lebih sering terdengar kipas lebih kencang berputar dibandingkan mode Energy Saving, hehehe…

Sebenarnya untuk menjustifikasi perlu tidaknya upgrade RAM itu harus dilihat dari utilisasi RAM dan Swap ya? Apakah cukup atau tidak? Atau ada parameter lain?

Yang jelas untuk prosesor AMD Ryzen itu seharusnya dikonfigurasi untuk RAM dual channel supaya bisa keluar semua potensi performanya. Jadi tidak melulu tentang berapa jumlah kapasitasnya, tapi lebih cenderung ke dual channel-nya. Mungkin saya hanya perlu upgrade ke 4GB yang lebih murah untuk mengaktivasi dual channel-nya. Walau pun dalam hati saya merasa tanggung, apa tidak lebih baik sekalian ke 16GB? Hahaha…