Tag: Papahanda
Papahanda, Bung Kecer Menemukan Cinta Sejati
Sebelum prosesi pemakaman Papah di Sagan Yogyakarta, Mbak Choco bertemu dengan Pak Helan Supardi, teman semasa mudanya Papah. Beliau bercerita tentang masa muda mereka. Waktu muda, Papah dikenal sebagai pria yang lurus dan tidak mau ikut menggoda wanita. Saat teman-teman menggoda wanita, Papah selalu memisahkan diri sehingga sering diledek sebagai Bung Kecer yang artinya mas yang tercecer.
Mungkin karena Papah lebih banyak dibesarkan oleh Ibundanya setelah kehilangan sosok Ayah ketika Papah masih SD. Peran Sang Ibunda sangat besar dalam membesarkan dan membimbing Papah. Tidak lupa peran dari Kakak-kakak perempuan Papah. Dulu Papah sangat dekat dengan Mbakyu Ning, sang Kakak yang penuh kasih membesarkan dan banyak membantu Papah dari segi keuangan.
Papah banyak dikelilingi sosok wanita yang mengasihinya sehingga Papah tidak ingin menyakiti hati wanita.
Hingga akhirnya Papah bertemu dengan Ibu. Pertemuan terjadi saat Papah melihat Ibu di asrama RS Panti Rapih, Yogyakarta. Rumah Papah di Sagan tepat di belakang asrama perawat dimana Ibu dulu belajar. Setiap kali selesai makan siang, para perawat akan pergi ke bagian belakang asrama untuk mencuci piring. Di situlah Papah melihat ibu.
Papah bersama teman-temannya naik pohon dan Papah pun berteriak ke Ibu: “Bud, rene tak kenalke karo dokterandes.” (“Bud, sini saya kenalkan sama dokterandus”).
Papahanda, Misa 7 Hari Wafatnya Papah
Hari Kamis (29/11/2012) kemarin adalah Misa 7 hari wafatnya Papah. Temanya adalah penguatan iman. Setelah Misa aku merasa lega dan lapang. Mungkin Tuhan mengangkat kesedihanku. Dan aku pun merasa kalau Papah sudah diterima Tuhan dan tenang di Surga.
Sorenya sempat khawatir karena setelah menata & mempersiapkan tempat untuk Misa, hujan turun dengan derasnya. Aku khawatir jika seandainya hujan berlangsung sampai malam saat Misa sehingga umat yang datang sedikit. Namun nampaknya Tuhan telah merencanakan segala sesuatunya. Sebelum jam 19:00 hujan reda. Suasana jadi sejuk dan nyaman.
Romo Thomas Peng An telah lebih dulu datang. Kami ngobrol banyak hal, termasuk penguatan iman. Kebetulan tahun depan temanya re-katekisasi bagi umat Katolik. Dan Romo meminta agar lagu-lagu yang digunakan dalam Misa diubah ke tema penguatan iman.
Papahanda, Tulus dan Ikhlas
Suatu saat kakak-kakak Papah membahas warisan dari kedua orang tua yang telah tiada. Kakak-kakak menawarkan bagian belakang areal rumah Sagan kepada Papah. Bagian belakang rumah Sagan ini adalah tempat kediaman Ibundanya Papah dan tempat Papah dibesarkan.
“Wis, ora usah, Yu. Aku iki cah lanang, iso tuku dhewe.” (“Sudah, tidak usah, Mbakyu. Saya ini anak laki-laki, saya bisa beli sendiri.”) Kata Papah sembari menyerahkan hak warisnya kepada kakak perempuannya. Selain area belakang rumah Sagan, Papah juga menyerahkan hak tanah di beberapa lokasi di Sagan.
Papah adalah pribadi yang penuh kasih sayang, tulus dan ikhlas. Tidak hanya kepada kakak-kakak perempuan yang membesarkan dan mengasihi Papah, tapi juga kepada Ibu dan kami putera-puterinya.
Papahanda, Bung Kecer yang Lurus
Sebelum prosesi pemakaman, Mbak Chocovanilla bertemu dengan seseorang bernama Helan Supardi. Dia adalah teman se-gank Papah. Dia pun bercerita.
“Di Sagan ini ada 3 orang yang bernama Helan, yaitu Helan Suparman (kakaknya Papah), Helan Supadi dan Helan Sukasno (Papah). Kasno (panggilan masa kecil Papah) itu orangnya lurus. Kalau kami ketemu wanita dan mulai menggoda, Kasno selalu memisahkan diri. Makanya kami meledeknya sebagai Bung Kecer karena tercecer dan tidak ikut menggoda.”
“Sampai kemudian bertemu dengan Mbak Bud (panggilan Ibu semasa muda). Rupanya Mbak Bud adalah cinta pertama dan sejatinya Kasno.”
Sungguh terharu ketika menyadari kalau Ibu adalah sosok cinta sejati Papah. Terbukti sampai sekarang Papah hanya terpaut ke Ibu. Ibu pernah bercerita kalau Papah semasa mudahnya itu cakep & modis. Banyak wanita yang mengejar-ngejar, terutama teman kuliah. Namun rupanya Papah hanya melabuhkan hatinya ke Ibu.