Membeli iPad 2018 Apakah Worth It?

Saya sudah memimpikan memiliki tablet Apple sejak lama. Apalagi sejak keluar seri iPad Pro dan kemudian melihat bagaimana para seniman memamerkan keterampilan menggambarnya di YouTube. Benar-benar membuat ngiler.

Sayangnya saya tidak bisa membelinya karena terlalu mahal. Sebenarnya alasan sesungguhnya adalah tidak tega membelinya karena terlalu mahal. Karena keperluan rumah-tangga tidak boleh diabaikan. Maklum sudah bapak-bapak, harus lebih bertanggung jawab dalam membelanjakan uangnya, hahaha…

Tapi kemudian saya memutuskan untuk memiliki iPad (bukan yang Pro), apalagi iPad 2018 ini termasuk “murah” untuk ukuran produk dari apel krowak itu. Karena Apple mengeluarkan iPad versi 2018 ini untuk berkompetisi langsung dengan ChromeBook yang nampaknya mulai menggerogoti dominasi iPad. iPad 2018 secara resmi dibandrol mulai $329 (versi 32GB WiFi Only). Sedangkan untuk pelajar bisa memilikinya dengan harga $299. Kalau Anda guru bisa membelinya dengan harga $309. Tapi ini harga di sono ya? Kalau di sini yang tidak bisa dapat harga diskon ini karena Apple belum membuka toko resminya di Indonesia.

Dari harganya nampak bahwa Apple memang menyasar segmen ChromeBook yang memang harganya sekitar itu. Belakangan laptop dengan platform ChromeBook memang semakin diterima oleh masyarakat terutama karena harganya lebih murah dibanding laptop/PC namun memiliki fungsionalitas dan kinerja tidak kalah.

Kembali ke iPad, akhirnya kemarin saya membeli versi 128GB WiFi Only warna Gold. Warna Gold ini baru dikeluarkan di jajaran iPad mulai tahun 2018 ini. Gold-nya lebih gelap dan jadi lebih menarik dibandingkan iPhone. Sebenarnya kalau ada versi RED pasti saya akan memilih RED, hahaha…

Saya memilih versi 128GB karena versi 32GB itu nanggung. Pasti cepat habis terisi. Dan saya tidak memerlukan versi selular karena bagi saya memasang nomer khusus di iPad itu sia-sia. Karena toh tidak bisa digunakan untuk nelfon atau WhatsApp.

Apakah membeli iPad itu Worth It?

Ini pertanyaan yang sangat subyektif sebenarnya. Karena pasaran tablet itu agak rancu, karena ada 3+ platform yang available di pasaran tablet tapi kesemuanya tidak sejajar. Tidak sejajar ini dilihat dari fungsionalitas, target market dan harganya.

Jadi rada sulit menilai apakah membeli iPad 2018 ini worth it jika dibandingkan dengan produk kompetitor. Sedangkan bila dianggap tidak ada pesaing karena tidak ada kesejajaran yang tepat, ya pastinya jadi worth it, hehehe…

Disclaimer: Ini pendapat pribadi saya loh. Mungkin berbeda dengan pemikiran Anda. Silakan isi komentar untuk berdiskusi. Oh iya, pembahasan platform di bawah bukan diurutkan berdasarkan awal kemunculan produk. Saya mengurutkannya berdasarkan alur penulisan yang ingin saya sampaikan.

Berikut ini pendapat saya tentang beberapa platform tablet tersebut.

Platform yang mau saya bahas pertama adalah platform Android. Di sini pemain besarnya ada Samsung, Asus, dan berbagai merek dari China. Merek besar lain mulai meninggalkan pasar tablet platform Android dan fokus di PC/laptop/hybrid, seperti misalnya Acer, HP, Sony, Lenovo, Benq, dll.

Tablet dengan platform Android ini agak nanggung. Kesannya hanya berguna untuk konsumsi media (media consumption) atau cuma untuk main game. Target segmen jadi mengerucut ke anak-anak sampai remaja. Mau diajak kerja lebih produktif oleh orang dewasa tapi dirasa kurang tenaga. Dulu pemain tablet Android ini banyak sekali. Tapi lama-lama rontok satu per satu.

Saya rada trauma dengan tablet platform Android ini. Karena tahun 2011 dulu pernah membeli Samsung Galaxy Tab 10.1″ (Baca: “Samsung Galaxy Tab“, “Keyboard Dock Samsung Galaxy Tab 10“, “Keyboard Dock untuk Samsung Galaxy Tab 10“) namun tidak sesuai ekspektasi. Sangat terbatas kemampuannya dan rada lambat. Yang membuat trauma adalah karena Samsung tidak mengeluarkan update OS Android untuk tablet ini setelah 1-2 tahun produk ini dirilis. Menyebalkan! Tidak bertanggung jawab! Padahal harganya muahaaaal! (Hahaha… ngomel2 jadinya).

Platform yang ke-2 adalah dari Microsoft. Dulu Microsoft mengeluarkan tablet versi Windows RT (Baca: “Windows RT” di Wikipedia). Ini adalah porting OS Windows ke arsitektur ARM. Sayangnya platform ini tidak berhasil. Serba nanggung. Walau pun aplikasi-aplikasi penting berhasil diboyong ke platform ini, namun kinerjanya tetap kurang dibandingkan versi desktop-nya. Tentu saja tidak banyak developer aplikasi yang mau bertaruh di platform yang tidak matang ini.

Platform Windows RT ini memang nyaris gagal sehingga akhirnya Microsoft mengeluarkan tablet full fledged, yaitu tablet dengan sistem operasi Windows yang asli versi desktop. Sayangnya para pabrikan PC tetap tidak mau mengeluarkan tablet dengan sistem operasi Windows sehingga Microsoft mulai memproduksi sendiri tablet Surface (dan Surface Pro). Demi memangkas harga, Microsoft mengeluarkan juga Surface RT dengan aristektur ARM.

Kekurangan dari platform Windows ini adalah karena memboyong arsitektur x86 dari Intel yang dikenal boros daya (dibandingkan dengan aristektur ARM yang dari dulu dikenal hemat daya). Sudah gitu form factor susah diajak langsing menandingi ARM yang bisa lebih hemat ukurannya.

Ini yang membuat para produsen males membuat tablet versi Windows. Kan tidak lucu juga kalau bikin tablet tapi bentuknya besar, tebal dan cuma bisa dipakai 3-4 jam karena boros baterai. Ya memang akhirnya Microsoft harus membuat contoh dengan tablet Surface-nya.

Akhirnya bermunculanlah produk-produk hybrid, yang bisa menjadi tablet dan bisa juga menjadi laptop. Seperti berdiri dengan 2 kaki berpijak di dua dunia. Serba nanggung jadinya ya?

Platform ke-3 adalah tablet dengan sistem operasi iOS dari Apple. Menurut saya, ini adalah platform yang ideal untuk tablet saat ini. Apple memang dikenal sebagai produsen dengan produk yang nyaman digunakan, gegas dan cocok untuk para seniman. Tablet dari Apple sangat digemari para musisi karena iPad bisa mensimulasikan efek-efek suara dengan latency paling rendah, terdengar nyaris realtime. Misal: ketika kita memukul drum di iPad, maka suara langsung terdengar ketika jari menyentuh display. Kekerasan dan aksennya tergantung dari tekanan dan kecepatan ketukan jari ke display. Ini sangat mengesankan!

Jangan lupakan fenomena efek gitar dengan latency rendah di iPad dan iPhone yang nyaris realtime. Dulu ramai sekali orang menggunakan iPad dan iPhone untuk simulasi efek gitarnya (Baca: iRig HD). Dulu latency serendah itu sulit sekali dikejar oleh platform lain!

Dan jangan lupakan artis seni rupa (gambar/lukisan dan foto). Mereka sangat menikmati iPad untuk berkreasi. Karena menggambar di iPad (terutama di iPad Pro) sangat menyenangkan dan nyaris memiliki sensasi seperti menggambar di kertas atau kanvas yang sebenarnya. iPad Pro memang memiliki display yang luar biasa dengan teknologi laminasi dan refresh rate lebih tinggi dari pada tablet saingannya sehingga menggambar di iPad Pro jauh lebih menyenangkan. Sampai sekarang kenyamanan menggambar di iPad Pro masih sulit ditandingi para kompetitor (CMIIW).

Dan sekarang iPad memiliki kemampuan editing video sampai 4K. Ini berarti para vlogger/youtuber yang banyak berkeliaran (mobilitas tinggi) itu tidak perlu membawa laptop dan bisa segera mengedit dan meng-upload videonya dari mana saja. Tinggalkan saja laptop yang berat itu di rumah!

Ini yang membuat iPad mendominasi pangsa pasar tablet. Hingga akhirnya banyak orang menyebutkan “iPad” sebagai nama generik piranti yang hanya punya layar itu dibanding menyebutnya sebagai tablet.

Namun sepertinya Apple sudah mulai khawatir dengan kehadiran platform ke-4, yaitu platform ChromeBook yang menggunakan sistem operasi Chrome OS. Ya awal mulanya ChromeBook itu ditargetkan untuk laptop murah. ChromeBook bisa murah karena sebenarnya laptop menggunakan kernel turunan Linux yang ringan/ringkas dan browser Chrome. Sedangkan aplikasi-aplikasi berjalan di atas browser Chrome. Jadi tidak perlu spesifikasi hardware yang tinggi. Untuk kapasitas penyimpanan juga cuma seadanya, secukupnya saja. Karena sebagian besar dokumen akan disimpan di Cloud.

Nah, belakangan Chrome OS ini dipakai juga untuk tablet. Ini yang membuat Apple khawatir. Karena jika tablet Chrome berhasil, maka secara kombinasi antara ChromeBook dengan Chrome Tablet bisa saja mengejar dominasi iPad. Karena bagaimana pun juga ChromeBook yang murah itu sudah cukup kinerjanya bagi para pelajar. Dan pelajar ada gerbang pertama untuk suatu dominasi produk di masa depan. Dan Apple tidak mau kehilangan pelanggan masa depannya!

Apple harus merebut kembali pasar masa depannya dengan menggelar harga pelajar. Untuk para pelajar dan pengguna awal, Apple menawarkan New iPad yang sejatinya sudah cukup mumpuni untuk tugas-tugas yang tidak berat/kompleks. Dan versi 2018 bentuknya sudah tipis, manis dan modern. Di harga segitu sulit sekali menemukan produk dari pesaing yang fitur, mutu dan kemampuannya setara.

Untuk segmen lain, Apple juga mengeluarkan versi-versi murah dari iPad-nya. Kalau versi mahal iPad Pro adalah ukuran 12.9″, maka kemudian dikeluarkanlah versi murah dengan ukuran 10.5″. Masih kurang murah? Keluar jugalah versi 9.7″. Semuanya nyaman digunakan untuk menggambar (dan melukis).

Sedangkan produk nanggung iPad Air dan iPad Mini sepertinya bakal dihentikan karena membuat bingung konsumen karena sudah ada New iPad yang sudah bisa setipis iPad Air. Sedangkan iPad Mini tidak diteruskan karena iPhone sudah mulai punya versi besar (iPhone 8 Plus). Sebagai informasi, sejatinya iPad Mini dibuat untuk menjembatani iPhone yang punya layar kecil dengan iPad. Apple memberikan opsi di antara itu untuk mengisi gap bagi pengguna yang merasa layar iPhone kekecilan tapi menganggap iPad kebesaran. Nampaknya sekarang jadi kurang relevan karena iPhone sudah punya versi besar dan iPad sudah bisa setipis dan seringan iPad Air. Tapi ya tentu saja terserah Apple ya? Kita tunggu September nanti saat Apple merilis produk-produknya.

Kompetisi

Menurut saya (ini menurut saya ya?) pesaing yang benar-benar memiliki fitur dan fungsionalitas mirip dengan iPad Pro adalah Microsoft Surface. Tapi Surface (dan Surface Pro) menggunakan Windows Desktop yang multi fungsi. Cenderung tidak mudah digunakan. Orang harus belajar menggunakannya supaya bisa produktif. Bahasa kerennya: learning curve-nya lama. Bandingkan dengan iPad yang nyaris bisa segera digunakan.

Dari segi bentuk jelas lebih langsing dan manis iPad. Sedangkan harganya? Surface Pro malah mahalnya 2-3x harga iPad Pro (tergantung tipenya).

Bagaimana dengan tablet-tablet Android? Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, sekarang tablet Android itu malah seperti mainan saja. Penggunanya cuma menggunakannya untuk ber-sosial media, main game, cek email dan tugas-tugas ringan lainnya. Mau diajak melukis selayaknya iPad Pro? Dibanding iPad regular yang murah itu saja belum tentu bisa menyaingi. Mau diajak bikin lagu atau ngedit film? Kebanyakan tablet Android akan kedodoran.

Ini yang membuat iPad sulit dibandingkan atau disetarakan dengan kompetitornya.

Beneran Worth It?

Kembali ke pertanyaan apakah iPad 2018 ini worth it? Jawaban subyektif saya adalah: YAAA! (dengan bonus “A”). Saya memang sudah menginginkannya sejak lama. Dan versi 2018 ini menurut saya adalah versi iPad dengan teknologi yang jauh lebih baik dengan harga yang tidak terlalu mahal. Dia sudah punya prosesor A10 Fusion yang gegas dan dukungan Apple Pencil dan split screen untuk kerja multitasking. Kalau melihat produk kompetitor, nyaris sulit membuat perbandingannya.

Tetapi jawaban obyektifnya baru bisa saya tuliskan setelah beberapa bulan menggunakannya yaaa… Soalnya 2 hari menggunakan iPad ini belum bisa memberikan penilaian yang sebenar-benarnya. Tapi 2 hari ini menggunakan iPad rasanya baik-baik saja. Serba cepat dan bisa split screen. Saya sedang memesan Apple Pencil untuk menggambar dan menulis. Nanti akan saya tulis terpisah.

Keluhan yang saya rasakan adalah keyboard virtualnya. Dari dulu Apple memang tidak pernah nyaman keyboard virtualnya. Kalau terbiasa akhirnya bisa nyaman sih. Tapi kalau kita menggunakan Apple dan Android bersamaan, ya akhirnya mau tidak mau jadi membandingkannya dengan keyboard-nya Android. Enakan keyboardnya google yang bisa swipe dan suggestion/prediction-nya akurat.

Sementara ini dulu tulisan saya. Rupanya sudah panjang lebar dan tinggi rendah. Kapan-kapan disambung lagi (kalau sempat dan niat). Jangan lupa kalau ini adalah pendapat saya pribadi. Mungkin bisa beda dengan pemikiran Anda. Silakan tuliskan di kolom komentar untuk berdiskusi lebih lanjut.

Salam.

Iklan

Development Dengan Spesifikasi Minimum

Tempo hari sempat menuliskan 2 tech talk yang berhubungan dengan optimasi & tuning, yang gunanya untuk meningkatkan performa sistem dan menjaga agar mampu menangani beban kerja yang semakin meningkat setiap harinya (baca: “Optimasi & Tuning Server” dan “Optimasi Query”). Namun sebenarnya ada tips yang cukup jitu yang membuat kita aware akan optimasi dan tetap menjaga performa sistem sejak awal development, yaitu dengan menggunakan hardware berspesifikasi minimal.

Mungkin sulit dibayangkan, tapi kurang lebih ceritanya begini. Saat development saya menggunakan notebook yang cukup powerfull, yaitu Acer V5 yang memiliki prosesor Intel i5 berclok 1.8 GHz yang pada saat mode turbo bisa mencapai 2.7 GHz. Cukup powerful untuk development sistem berbasis web. Semuanya berjalan lancar sampai ketika sistem diimplementasikan ke user. Saat diimplementasikan, ternyata banyak hal yang turut mempengaruhi performa sistem, dari PC user yang spesifikasinya lebih rendah, koneksi jaringan, sampai ke beban kerja server.

IMG_00003236_edit

Saat saya memprogram di notebook powerful tentu saja hal-hal seperti ini tidak muncul. Lagi pula database di notebook sifatnya statik, jika ada perubahan tentu dari saya saja. Sedangkan server production memiliki beban kerja tinggi seiring banyaknya user yang bekerja. Saat implementasi inilah banyak permasalahan muncul. Apalagi jika sistem telah dipakai cukup lama dan database sudah mulai membesar.

Nah, tips-nya cukup sederhana, yaitu gunakan PC development dengan spesifikasi minimal. Sebenarnya tips ini sangat menyebalkan karena rasanya semua berjalan dengan lambat. Saat coding lambat. Saat menjalankan query lambat. Bahkan menunggu eksekusi query jadi hal yang menjemukan. Namun dari kelambatan ini, kita jadi bisa melakukan optimasi code dan query sejak dari development. Saya sangat terkesan ketika mencoba modul baru yang diinstall di server production, ternyata modul berjalan dengan sangat cepat. Wow…

Tips ini sebenarnya bukan hal yang baru. Selain karena saat ini saya menggantungkan pekerjaan di notebook yang kurang powerful, juga karena saya pernah mengalami development saat berwirausaha dulu. Dulu saat mulai berwirausaha, saya membeli notebook bekas dengan spesifikasi rendah, yang penting terjangkau kantong saya yang pas-pasan dan paling tidak bisa digunakan bekerja dengan baik. Rasanya dulu saya tidak mengeluh saat mengembangkan sistem dengan spesifikasi minimum. Eh sekarang malah sering mengeluh, hehehe… Maklum, sekarang sudah pernah merasakan notebook dengan spesifikasi yang baik.

Rasanya tips ini bisa dicoba walau pun mungkin mengundang rasa sebel saat development.

Dead Pixel

Senangnya saat kemarin memboyong pulang Notebook Samsung ATIV Book 9 Lite. Namun kegembiraan saya mendadak sirna saat mendapati sebuah pixel yang bermasalah. Saat membuka browser blank tampak sebuah titik yang putihnya berbeda dengan latar belakang browser yang putih. Saya pun meneliti titik putih aneh ini. Saat menampilkan gambar berwarna memang pixel bermasalah ini tidak nampak, namun saat menampilkan warna putih barulah terasa aneh.

Dahulu pixel yang bermasalah ini disebut sebagai dead pixel alias pixel yang mati. Sekarang sering disebut sebagai defective pixel. Artinya ada sebuah pixel atau lebih di layar monitor kita yang tidak berfungsi dengan baik. Bisa saja pixel tersebut mati sama sekali, atau menyala tapi tidak sesuai dengan seharusnya. Misalnya seharusnya menyala merah tetapi dia menampilkan warna putih.

Syukurlah kemarin saat membeli masih belum terlalu malam jadi saya bisa segera balik ke toko untuk mengklaim dead pixel ini. Dan notebook pun diganti baru. Horeee…

Oh iya, ada utility online untuk mengecek apakah ada dead/defective pixel di monitor kita, silakan kunjungi situs ini: Display Test.

Earphone Blackberry

image

Setelah tempo hari kehilangan earphone bawaan Samsung Galaxy Tab, daku penasaran sekali mencari penggantinya. Nyobain beberapa earphone tidak cocok. Termasuk earphone Sony yang kurasa kurang suaranya. Mungkin ini bukan tipe yang bagus ya, karena harganya memang kurang dari 200 ribu.

Jadi teringat earphone Blackberry Torch yang kualitas suaranya termasuk bagus yang sayangnya punyaku putus karena tersangkut rem tangan (hiks). Jadi daku pun iseng nyambangin gerai Blackberry. Kebetulan di situ dijual headset model in-ear. Tidak ingin membeli kucing dalam karung, daku pun minta coba dulu.

Daku mencoba headset dengan lagu “In Dying Days” dan “Hester Prynne” dari group metal As Blood Runs Black dari BlackBerry Torch. Dan ternyata earphone bisa mereproduksi suara bass drum dengan baik, begitu mendentum, apalagi dengan preset equalizer Rock. Betul-betul menyenangkan, setara dengan earphone bawaan SGT yang hilang. Karet telinganya juga empuk walau pun tidak seempuk earphone SGT.

Harganya juga tidak nyesek kok, 200 ribu dengan kembalian seribu. Tadinya mau beli earphone Sony yang ratusan ribu (eh ada juga yg di atas sejuta), tapi kok ya sayang kalau seharga itu. Hehehe, padahal duitnya kurang juga sih kalau segitu.

Samsung Galaxy Tab

Hore… akhirnya kami memiliki Samsung Galaxy Tab 10.1. Walau pun sudah disetujui pembeliannya oleh BOD, tapi eksekusi pembelian baru bisa dilakukan hari Senin 26/09/2011 karena berbagai alasan. Dengan demikian kami bisa meneruskan pengembangan modul dokter yang dioptimasi untuk menggunakan Tablet PC.

Pertama kali pakai SGT 10.1 kesannya keren banget. Android Honeycomb 3.0 jauh banget dari Froyo 2.2. Banyak peningkatan yang daku rasakan. Apalagi dengan prosesor SGT yang mumpuni dan gegas. SGT tidak nampak keberatan saat menjalankan beberapa aplikasi. Video berukuran lebih dari 1.5 GB dapat dimainkan tanpa masalah.

Jadi bersemangat nih mengembangkan aplikasinya. Asal jangan terdistraksi untuk main ya? Hehehe…