Negri di Awan : Kemana Angin Mengalir

Index Trilogy:
1) “Negri di Awan : Sidang Para Batara” (Dik nDaru)
2) “Negri di Awan : Kemana Angin Mengalir” (Dewo)
3) “Negri di Awan : Menuju Negri Impian” (Jeng Devi)

Ini misi yang maha penting, pikir Batara Siwa. Bagaimana pun Kanda Narayana benar. Bumi yang sudah berjalan 40.000 tahun ini tidak bisa serta merta di-reset. Dia mesti mencari sisik-melik dan mengumpulkan data penunjang supaya Sang Hyang Brahma bersedia menangguhkan kiamat.

Dikeluarkannya iPad dan mulai mengetikkan email berisi rencananya kepada para puteranya. Kepada Kartikeya yang menjabat dewa perang, dia memerintahkan untuk rehat sejenak supaya dalam beberapa hari research-nya ini dapat berjalan dengan baik tanpa ada peperangan. Karena rencananya menitis sebagai manusia menjadikannya sangat rentan jika ada peperangan. Juga untuk mendata motivasi di balik peperangan di dunia, berapa persen yang dimotivasi oleh rebutan sumber daya alam dan berapa besar dampaknya terhadap alam.

Kepada Ganesa yang menjabat dewa ilmu pengetahuan, dia memerintahkan untuk melakukan survey kepada seluruh penduduk dunia tentang kepedulian manusia terhadap alam. Juga melakukan research tentang perusakan alam yang disebabkan oleh ulah manusia. Kebetulan Ganesa mempunyai channel di seluruh universitas di penjuru dunia yang selalu siap sedia membantu setiap research yang digelarnya.

Kepada Batara Kala yang menjabat dewa waktu alias yang menentukan waktu hidup manusia, dia memerintahkan untuk mendata berapa banyak orang yang selama hidupnya merugikan alam dan berapa banyak yang hidupnya bergantung kepada alam dan memeliharanya dengan baik. Juga menghitung berapa banyak yang mati karena kualat terhadap alam. Dan berapa banyak manusia yang tidak berdosa yang mati karena bencana alam.

Setelah emailnya terkirim, Batara Siwa yang juga terkenal sebagai Batara Guru ini segera beranjak mengambil jaket dan helmnya. Dia segera bergegas menuju parkiran moge-mogenya yang memang terpisah dengan garasi mobil-mobil sport-nya. Dipandanginya sejenak motor Harley Davidson yang tidak pernah sekalipun dia tunggani. Terlalu boros bensin dan sangat berisik. Benar-benar tidak ramah lingkungan. Kalau pun dia punya HD, itu karena hadiah dari para dewa yang gemar piknik ke bumi untuk menghabiskan anggaran tahunan dan abadan. Demikian juga dengan semua mobil-mobil sport yang selalu membuatnya heran karena dinilainya tidak ramah lingkungan babar blas.

“Ayo Nandini, kita berangkat ke bumi.” Seru Batara Siwa kepada seekor lembu betina dengan perawakan gagah perkasa. Sekali tepuk, Nandini langsung meloncat dan berlari secepat kilat membawa tuannya ke bumi.

Nandini adalah lembu tunggangan kesayangan Batara Siwa. Sudah berabad-abad dia mengabdi. Usianya boleh dibilang tidak muda lagi. Tapi karena sayangnya Batara Siwa kepada Nandini, maka Nandini pun di-modifikasi dan di-upgrade sesuai perkembangan jaman. Kini Nandini sudah dipasangi remote control, spion dengan lampu sein, turbo charger dan tentu tidak lupa sound system yang mumpuni plus TV. Bahkan dia menang kontes audio SPL selama seabad berturut-turut di tingkat kayangan.

“Nandini, kita ke koordinat ini ya?” kata Batara Siwa memecahkan deru terpaan angin saat memasuki atmosfir bumi. Ditransfernya koordinat dari iPad ke GPS yang tertanam di tanduk Nandini.

Nandini menghentikan lajunya di ketinggian 20.000 meter di atas permukaan laut saat koordinat GPS pas dengan koordinat tujuan. Sementara itu Batara Siwa melepaskan helm khusus untuk mengakomodasi ke-3 matanya. Mata ke-3nya kemudian mengerjap-kerjap laksana strobo light. Sementara mulutnya komat-kamit merapal beberapa mantra. Hingga tiba-tiba wujudnya berubah total menjadi selayaknya manusia biasa. Tidak ada lagi mata ke-3. Tidak lagi mempunyai 4 tangan.

***

“Selamat pagi, Nak.” Kata seorang tua kepada seorang pemuda yang sedang menanam padi.

“Selamat siang, Kek. Ada yang bisa saya bantu?” Jawab pemuda itu sopan.

“Saya lapar. Saya sudah 2 hari berjalan dan tidak makan apa pun. Boleh saya minta makan?” Kata orang tua itu sambil mengelus perutnya yang nampak kempis seolah membenarkan pernyataan kalau beberapa hari tidak makan.

“Boleh, Kek. Kebetulan saya membawa bekal yang cukup. Mari kita ke sana.” Kata si anak muda sambil menggandeng sang kakek yang nampak lemas itu menuju ke rumah-rumahan kayu di pinggir sawah.

“Silakan dimakan dulu, Kek. Dihabiskan saja tidak apa-apa. Saya rasa kakek pasti sangat kelaparan karena beberapa hari tidak makan.” Kata si anak muda sambil membuka rantang dan menghidangkannya ke kakek.

“Namamu siapa, Nak?” Tanya kakek sambil makan dengan lahapnya. Tahu-tempe beserta sayur-sayuran itu serasa nikmat sekali di mulut laparnya.

“Nama saya Sumarno. Nama kakek siapa? Nampaknya kakek bukan orang sini.”

“Nama saya Padmo. Rumah saya jauh dari sini.” Jawab sang kakek yang ternyata bernama Padmo itu.

“Kakek Padmo mau kemana? Mau bertemu siapa? Mungkin kalau saya tahu atau kenal orang yang akan ditemui pasti akan saya antar.” Kata Sumarno sambil menuangkan air ke gelas dan menyajikan ke Kakek Padmo.

“Sebenarnya saya tidak ada tujuan. Saya cuma mengikuti arah angin. Kemana arah angin berhembus, ke sanalah saya menuju. Jika angin berhenti berhembus, di situlah saya beristirahat.”

“Wah, kok bisa begitu ya?” Guman Sumarno terheran-heran. Diperhatikannya tongkat Kakek Padmo yang di ujung atasnya terikat kain seperti bendera dengan warna merah. Mungkin kain itulah penunjuk arah angin sehingga Kakek Padmo bisa berjalan mengikut arah angin. Dan rupanya kain itu sedang tidak berkibar. Makanya Kakek Padmo beristirahat di sini.

“Kakek hidup sebatang kara. Kemana lagi kakek harus menuju? Dimana kakek harus berdiam? Alamlah rumah kakek.”

“Begini saja, Kek. Kakek ikut saya saja. Rumah saya tidak jauh kok. Pasti istri saya tidak keberatan dengan kehadiran kakek. Apalagi anak-anak, pasti akan senang dengan kehadiran kakek.”

“Tawaran yang sangat baik, Nak. Kakek akan mencoba tinggal sehari-dua hari. Jika kehadiran kakek merepotkan, sebaiknya kakek melanjutkan perjalanan.”

“Baik, Kek.” Sahut Sumarno senang. “Setelah makan kita pulang ke rumah.”

***

Kakek Padmo berjalan tertatih dibantu tongkat berikat kain yang tidak berkibar. Di depannya Sumarno berjalan dengan tegap membawa cangkul, rantang dan buntalan milik Kakek Padmo. Buntalan itu hanya berisi 2 stel baju dan celana Kakek Padmo yang mungkin sudah setia 10 tahun melindungi tubuh Kakek Padmo dari perjalanan dunianya.

“Ini rumah kami, Kek. Dan itu istri saya, Asmara.” Kata Sumarno sambil membukakan pintu pagar kayu dan kemudian memperkenalkan istrinya, Asmara. Setelah memperkenalkan Kakek Padmo, Sumarno menjelaskan secara singkat pertemuannya dengan Kakek Padmo dan membicarakan rencana menetapnya Kakek Padmo di rumah mereka.

“Tidak mengapa, Kek. Tinggal saja di sini. Namun jangan dibandingkan dengan hotel ya? Karena rumah kami hanya bilik bambu. Tanpa hiasan, tanpa lukisan. Beratap jerami, beralaskan tanah.” Kata Asmara dengan tulus.

“Hanya alang-alang pagar rumah kami. Tanpa anyelir, tanpa melati. Hanya bunga bakung tumbuh di halaman.” Lanjut Sumarno.

“Hahaha… kayaknya saya kenal kata-kata kalian. Tapi dimana ya?” seru Kakek Padmo sambil garuk-garuk kepala sambil berusaha mengingat sebuah lagu yang pernah didengarnya dari iPod-nya. “Oh iya, itu syair lagu ‘Rumah Kita’ karya GodBless.”

“Lagu Rumah Kita? Gotbles? Apa ya itu, Kek?” Tanya Sumarno dan Asmara nyaris bersahutan.

“Oh, jadi kalian tidak tahu ya?” Tanya Kakek Padmo disambut gelengan Sumarno dan Asmara.

“Ya sudah, lupakan saja.” Kata Kakek Padmo sambil mengibaskan tangan sebagai isyarat untuk tidak memikirkan apa yang barusan dikatakannya tadi.

“Mana anak-anak, Bu?” Tanya Sumarno.

“Tadi sepulang sekolah langsung main. Maklum, besok kan hari Minggu. Jadi mereka tidak perlu belajar sore ini. Paling sebentar lagi pulang.”

“Nah itu anak-anak pulang.” Seru Sumarno ketika mendengar suara riuh rendah anak-anak.

“Halo Bapak-Ibu…” seru anak-anak kecil penuh riang itu.

“Sini-sini kenalkan diri kalian kepada Kakek Padmo.” Kata Sumarno.

“Nama saya Gaffet. Umur 7 tahun. Selalu ranking 1 di kelas.”

“Nama saya Peter. Umur 6 tahun. Kata ibu saya itu anak paling ganteng di desa.”

“Nama saya Bagas. Umur 5 tahun. Kecil-kecil begini saya paling kuat.”

“Hahaha, anak-anak yang hebat.” Puji Kakek Padmo. Namun kemudian Kakek Padmo mendadak tercenung, rasanya dia tidak asing dengan keluarga ini. Entah mengapa perasaan ini berkecamuk di dada Kakek Padmo walau pun dia berusaha meyakinkan diri kalau tidak pernah bertemu sebelumnya dengan keluarga kecil nan riang ini.

***

Malam telah larut. Di bilik tamu yang disediakan oleh keluarga Sumarno, Kakek Padmo mengeluarkan sesuatu dari buntelannya. Dinyalakannya barang berlogo buah apel krowak habis dibrakot itu. Kemudian dibacanya beberapa email yang masuk. Rupanya ke-3 anaknya telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Walau pun kesimpulan dari semua laporan tersebut tidak bisa dijadikan alasan kuat untuk menunda reset alias kiamat, tapi tetap dia harus mem-forward laporan-laporan tadi ke kakandanya, Batara Wisnu.

Kakek Padmo pun kemudian keluar dari bilik dan duduk di kursi rotan di beranda sambil berpikir keras.

“Kakek kok belum tidur?” Sapa Sumarno tiba-tiba nyaris mengagetkan Kakek Padmo.

“Oh iya. Saya tidak bisa tidur. Jadi saya duduk-duduk dulu di sini sambil menikmati angin.”

“Wah sama dong, Kek. Biasanya saya kalau tidak bisa tidur juga duduk-duduk di sini. Kadang-kadang istri saya menemani duduk di sini. Kami menikmati indahnya kilauan bintang-bintang di langit sambil berpelukan mengusir dinginnya malam.”

“Apa yang membuatnya menarik?”

“Kilauan cahayanya, Kek. Bersama dengan bulan, bintang-bintang itu menerangi bumi di malam hari. Sebenarnya kami tidak hanya mengagumi indahnya kilauan bintang itu. Tapi juga keagungan Tuhan. Kami mensyukuri bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia sekejap pun. Bahkan di malam hari, di gelapnya malam, di dinginnya malam, di sepinya malam, Tuhan tetap melindungi dan menerangi manusia dengan cahaya bulan dan bintang-bintang.”

“Oh ya?” Kakek Padmo mengangguk-angguk.

“Iya, Kek. Tuhan menyediakan malam untuk manusia beristirahat dan kembali bekerja esok hari.”

“Sudah lama jadi petani?” Tanya Kakek Padmo.

“Sudah, Kek. Dari jaman nenek moyang, kami adalah petani. Boleh dibilang kami adalah pekerja alamiah.”

“Kok bisa begitu?” Tanya Kakek Padmo.

“Karena hidup kami bergantung dari alam. Kami bertani dan berkebun dari alam.”

“Sumarno, kakek ingin bertanya beberapa hal, mohon dijawab dengan sejujurnya ya?” Tanya Kakek Padmo berubah menjadi serius.

“Boleh Kek. Saya akan coba jawab semampu saya.”

“Bagaimana menurut pendapat kamu seandainya dunia ini dihancurkan?”

“Dihancurkan? Maksudnya kiamat gitu, Kek?” Tanya Sumarno sambil mengernyitkan dahinya. Benar-benar tidak dinyana kalau ternyata pertanyaan itu terlalu berat bagi petani seperti Sumarno.

“Iya, dihancurkan. Kiamat…” Jawab Kakek Padmo sambil mengangguk dan memperagakan dengan tangan seolah-olah dunia ini meledak.

“Tapi mengapa? Untuk apa harus kiamat, Kek?” Sergah Sumarno.

“Lha kok balas tanya, tho?” Seru Kakek Padmo.

“Lha saya itu heran, Kek. Untuk apa ada kiamat?”

“Ehm… mungkin Tuhan memandang kalau dunia ini sudah tidak seimbang dan perlu diseimbangkan.”

“Maksudnya seimbang bagaimana ya, Kek?”

“Begini, Nak. Saya akan tunjukkan kepadamu beberapa peristiwa yang terjadi dalam seabad ini yang dinilai oleh para dewa sebagai hal yang membuat dunia ini menjadi tidak seimbang. Pejamkanlah matamu sejenak.”

“Baik, Kek.” Maka Sumarno pun memejamkan matanya. Sementara itu Kakek Padmo mengusap dahi Sumarno, tepat di antara matanya. “Coba melek lagi.”

“Wow…” Sumarno pun terkesima karena di depannya sudah ada layar dan LCD proyektor. Dilihatnya Kakek Padmo sedang mengusap-usap layar iPad-nya yang sudah dilengkapi teknologi multitouch itu. Nampaknya sedang memilih file video yang akan ditayangkan. Dan sesaat kemudian tampillah sebuah film dengan judul “Dokumentasi Dunia Dari Tahun 1900 s/d 2010.”

“Film ini berdurasi 2 tahun. Namun dengan kemampuan penelaahan padamu yang telah kuaktifkan tadi, kamu bisa menontonnya hanya dalam 10 menit tanpa kehilangan makna walau pun kecepatan film ini saya percepat beratus-ratus kali.” Kata Kakek Padmo menjelaskan.

“Kuatkanlah hatimu, Nak. Sebab yang kamu tonton ini benar-benar terjadi dan mungkin akan kamu anggap sangat mengerikan.” Lanjut Kakek Padmo disambut anggukan dari Sumarno.

“Baiklah, Kek. Saya akan coba memahami apa yang telah tercatat di kitab kehidupan bumi ini.”

Maka film berdurasi 2 tahun yang kecepatan tayangnya dipercepat sehingga bisa ditonton hanya dalam waktu 10 menit itu pun dimulai. Film tersebut berisi ketidak seimbangan dunia yang disebabkan oleh manusia. Dari kekejian dan kekejaman manusia kepada sesamanya dan juga kepada alam. Tampaklah kerusakan jiwa-jiwa yang meninggal dengan tidak sebagaimana mestinya. Dan juga kerusakan alam secara sistematis.

Banyak hal yang membuat Sumarno jadi mual, nyaris muntah, namun kemudian ditelannya kembali. Dia berpikir bahwa dia harus kuat menonton film ini demi sebuah pemahaman dari sudut pandang terluar dari bumi.

Di bagian akhir Sumarno melihat bahwa walau pun manusia dinilai sudah lebih beradab namun ternyata perusakan yang terjadi lebih sistematis dan lebih cenderung merusak alam secara brutal. Di sudut kanan bawah dilihatnya indikator perusakan semakin meningkat. Di sebelah indikator ini nampak grafik berbentuk pie chart yang bagian hijaunya semakin mengecil. Dari yang tadinya 100% berkurang menjadi 90%, 80% kemudian turun drastis dengan cepat sampai ke level 40%. Sungguh sangat mengkhawatirkan. Makanya tidak heran jika alam banyak bergejolak di abad ini.

Di penghujung film, sebuah epilog berisi keluhan-keluhan dari para penjaga dunia ditampilkan. Dari para dewa penjaga arah mata angin, dewa penjaga gunung, dewa penjaga lautan, dewa penjaga daratan, dewa penjaga hutan, dewa penjaga sungai, hingga para dewa penjaga jiwa manusia. Semuanya sepakat dan telah menandatangani sebuah petisi untuk me-reset dunia. Film pun berakhir. Namun tertulis “To be continued…”

“Wakakaka…” tiba-tiba Sumarno tertawa terpingkal-pingkal sampai terbungkuk. Seolah dia sudah melupakan bahwa beberapa saat yang lalu nyaris muntah karena mual saat menyaksikan film.

“Lho-lho-lho-lhooo… kok kamu malah tertawa tho, Nak? Ini kan masalah serius, secara bumi ini mau di-reset gitu loh.”

“Hihihi… ya jelas saja saya ketawa, Kek. Saya malah berpikir kalau kakek ini sedang membuat film cerita murahan.”

“Eeee… jangan kurang ajar ya, Nak. Coba jelaskan pada kakek segera! Atau kamu disamber petir dan kiamat ini kakek percepat!”

“Yeeee… kakek jangan keburu marah gitu dong. Saya akan jelaskan dengan sebaik-baiknya. Tapi sebentar ya, saya ambil laptop dulu.” Sumarno pun berlari masuk untuk mengambil laptop. Sementara itu Kakek Padmo nampak manyun-sumanyun karena merasa diremeh-temehkan. Padahal kan misi ini maha penting dan dahsyat.

“Begini, Kek. Walau pun saya ini petani, tapi saya blogger juga.” Kata Sumarno sambil menyalakan laptop merek lokal namun berprosesor Quad Core dengan RAM 32 GB.

“Dan kami ini termasuk blogger yang peduli terhadap lingkungan dan sesama. Tidak hanya itu, kami juga mengkampanyekan hidup sehat dan memotivasi pembaca blog untuk meningkatkan kualitas hidup, baik dari dalam individu itu sendiri mau pun dalam kontribusi positifnya terhadap sesama. Coba saja lihat blog dari sahabat-sahabat saya ini.” Sumarno pun menunjukkan bookmark-nya yang berisi blog-blog bermutu dari para sahabat.

“Ada vlog alias video blogging-nya juga loh, Kek. Dari yang sederhana sampai ke yang menggunakan teknologi tinggi yang dapat membantu hidup manusia. Dari yang singkat sampai ke yang panjang karena berisi tutorial lengkap. Bahkan ada yang berisi petunjuk praktis kesehatan dan survival. Bukankah ini berisi arahan yang positif? Bukankah manusia itu bagian dari alam dan walau pun manusia merusaknya tetapi juga memperbaikinya? Bukankah itu berarti keseimbangan sedang berlangsung?”

Kakek Padmo nampak mengangguk-angguk takjub. Bahkan kemudian jemarinya dengan lincah mencatat beberapa alamat blog di iPad-nya.

“Tetapi mengapa laporan dari para dewa begitu parah? Separah perlunya me-reset dunia?” Guman Kakek Padmo sambil mengelus jenggot putihnya. Seolah pertanyaan-pertanyaan itu diarahkan pada dirinya sendiri.

“Mungkin para dewa hanya mencatat perusakan dan pergerakan dunia ke arah negatif. Padahal di sisi yang lain, dalam bentuk yang berbeda, dalam skala yang semakin meningkat, sejatinya manusia itu senantiasa berjuang untuk mempertahankan kelestarian lingkungan hidup. Banyak dana yang digelontorkan untuk riset yang mendukung itu semua. Dan edukasi dari masyarakat untuk masyarakat terjadi dan terjalin secara otomatis.” Kata Sumarno panjang-lebar, tinggi-rendah.

“Saya punya banyak referensi para pejuang kemanusiaan dan pelestarian lingkungan hidup.” Lanjut Sumarno. “Begini saja, Kakek akan saya kirimi email berisi URL agregat gerakan pejuang hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan hidup ini. Kalau kakek sempat, Kakek bisa mengunjungi jurnal-jurnal tersebut. Tentu jangan lupa BW (blog walking) ke sahabat-sahabat saya ya, Kek. Isinya bagus-bagus kok. Ada yang lucu juga. Jadi kakek dan para dewa itu tidak terlalu serius saat bekerja. Sesekali waktu kan perlu refreshing. Coba luangkan waktu 1 sampai 2 jam sehari untuk blog walking.”

Sekali lagi Kakek Padmo pun mengangguk-angguk, trilili-lili-lili-lili… Hatinya berdendang karena mendapat pencerahan dari seorang petani lugu yang ternyata seorang blogger juga.

“Sungguh cara yang aneh. Sejenak saya putus asa karena semua data mendukung ke arah reset. Dan saya didesak untuk segera menekan tombol reset dan memberi komando kepada para algojo. Namun kini saya punya alasan yang tepat untuk mem-veto keputusan dewan dewa. Dunia ini sungguh maha karya yang luar biasa. Sebuah sistem yang hidup dan punya kemampuan terus berjuang untuk hidup. Untuk apa reset jika sistem ini menemukan caranya sendiri untuk seimbang?” Guman Kakek Padmo disambut anggukan dari Sumarno.

“Terima kasih, Nak. Kakek sudah mendapatkan jawaban yang tepat. Kakek rasa penuturan kamu tadi dapat menjadi pembelaan yang luar biasa bagi dunia ini. Karena reset menjadi tidak relevan lagi.”

“Sama-sama, Kek. Senang bisa bertemu dan berdiskusi dengan Kakek.”

Sementara itu mentari mulai mengintip lewat semburat ronanya. Rupanya pagi telah menjelang. Sayup-sayup terdengar kokok ayam jago disambut kicauan riang burung-burung. Seolah mewakili alam dalam menyambut hidup dengan rasa syukur atas kesempatan menikmati hidup sehari lagi.

Di atas sana Batara Wisnu tersenyum lega saat menyaksikan dialog antara adindanya Batara Siwa dengan seorang manusia yang dikenalnya dengan baik karena kebijakannya di sebuah LED TV 90 inchi.

“Well done, Semar…” Puji Batara Wisnu sambil menjentikkan jarinya.

***

Tungguuuu… cerita belum selesai sampai di sini. Bagaimana penilaian misi Batara Siwa di sidang dewan dewa? Apakah bumi ini tetap akan di-reset? Lebih baik langsung saja pindah channel ke: “Menuju Negri Impian” karya Jeng Devi.

Artikel ini diikutsertakan dalam Pagelaran Kecubung 3 Warna di newblogcamp.com.

Foto dipinjam dari situs “Pagelaran Kecubung 3 Warna” (New Blog Camp).

12 pemikiran pada “Negri di Awan : Kemana Angin Mengalir

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.